Minggu, 19 Juni 2011

ACceh Inside - Pengantin Bermata Biru

AKU menyusuri wilayah Desa Kuala Daya, Kecamatan Lamno, Aceh Jaya, dengan perasaan tak menentu. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah rencong ini, pemandangan yang terhampar dihadapanku sungguh membuat batinku pilu dan tersentak. Betapa tidak, daerah pesisir pantai yang konon terkenal akan keindahannya itu, kini dibaluri warna coklat tua bercampur kering darah. Bangunan porak poranda, hanya menyisakan puing-puing tak berarti. Seonggok perahu tampak tergeletak di samping sebuah bangunan rumah yang telah luluh lantak. Beberapa bangkai perahu lainnya terserak di banyak tempat. Bau anyir mayat masih tercium dan meruap di udara.
Setelah usai bergelimang kesibukan membagi-bagikan bantuan logistik kepada korban tsunami daerah itu bersama rekan-rekan prajurit TNI sejak pagi hingga siang, aku berkesempatan melihat-lihat kondisi daerah tersebut lebih dekat. Senja mulai rebah ke peraduan dan matahari menyisakan redup sinarnya. Cahaya temaram sang raja siang itu begitu kontras dengan suasana muram di kampung nelayan yang terletak dikaki bukit Ujung Seudon tersebut. Kesunyian yang mencekam begitu terasa. Aku telah berjalan kurang lebih 1,5 kilometer dari basecamp. Dan terus berjalan.
Pada jarak kurang lebih dua meter dari tempatku berdiri, aku melihat sesosok lelaki muda dengan pakaian kumal duduk diatas sebongkah tembok bekas bangunan runtuh. Aku mendekati lelaki itu perlahan. Matanya menerawang seakan menembus garis batas cakrawala nun di ujung sana. Sekilas aku melihat sosok lelaki itu terlihat sedikit berbeda dengan lelaki korban pengungsi yang kutemui sebelumnya. Ia memiliki postur tubuh relatif jangkung, kulit putih kemerahan, rambut sedikit pirang, alis mata tebal dan bermata biru. Ya, bermata biru. Aku sedikit terkejut dan takjub menyaksikan keajaiban yang terjadi dihadapanku.
“Maaf, boleh saya duduk disini, disamping anda?” aku menyapa lelaki itu.
Lelaki itu tidak menjawab, lalu menggeser pantatnya ke kiri dan memberi ruang bagiku untuk duduk. Matanya masih menatap kosong kedepan.
Aku menelan ludah menata kegugupan yang datang mendera, lalu duduk di sampingnya. Sejenak kami diam seperti mencoba menebak arah pikiran masing-masing. Sekilas aku melirik sosok lelaki itu. Ia memiliki bentuk rahang yang tegas menonjol dan hamparan misai yang tumbuh kasar. Sebaris kumis tipis melintang tak rapi dibawah hidung mancungnya. Lingkaran hitam disekeliling mata gagal menyembunyikan pupil biru yang menyala redup.
“Datang dari Jakarta?” Tanya lelaki itu memecah kesenyapan diantara kami. Ia menatapku setengah hati.
“Ya, saya tiba tadi pagi dengan Kapal KRI Amboina 503.”
“Relawan ?”
Aku mengangguk.
“Dari LSM Nusantara Membangun. O, ya, kenalkan, nama saya Firman,” sahutku sambil mengulurkan tangan.
“Syamsuddin. Panggil saja Syam,” jawab lelaki itu seraya menyambut uluran tangan saya. Setelah itu, ia kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Menerawang entah kemana.
“Sudah lama tinggal disini?” tanyaku hati-hati.
“Sejak lahir saya disini.” sahut Syam pelan. “Sampai menikah.” Nadanya terdengar getir.
Aku menangkap kesedihan menggelayut disana.
“Kami adalah pengantin bermata biru,” imbuh Syam seperti mengigau. Matanya kembali memandang kosong kedepan namun di pelupuknya terlihat bulir-bulir air mata mulai mengalir.
Seketika perasaan bersalah membebani hatiku. Tak urung, rasa penasaran mengiringi untuk mengetahui maksud dari “Pengantin Bermata Biru” itu.
Syam lalu mengusap air mata dengan punggung tangan dan memperbaiki letak duduknya. Dia lalu memandangku lekat. Mata birunya terlihat memiliki daya pukau luar biasa dalam remang senja yang muram. “Maafkan saya, bung Firman. Kalau Anda tidak keberatan, saya akan ceritakan maksud ucapan saya tadi,” kata Syam seperti bisa menebak arah pemikiranku saat ini. Aku mengangguk, “Tidak apa-apa, silakan. Sepanjang itu dapat mengurangi beban batin anda”, sahutku mencoba menghibur. Aku menatap matanya kembali mengalirkan keyakinan.
Syam menghela nafas lega. Ia tersenyum. Ketegangan yang tercipta sebelumnya diantara kami pun mencair. Dan cerita dari mulutnya mengalir lancar. Aku menyimaknya dengan antusias.
****
Dua puluh empat tahun silam, Syam lahir sebagai putera nelayan di Desa Kuala Daya dan merupakan anak sulung dari dua bersaudara . Adik bungsunya, Fatimah, yang lahir enam tahun kemudian turut menjadi korban keganasan tsunami bersama kedua orang tuanya. Mata biru yang dimilikinya merupakan jejak genetis dari kakek pihak ibunya yang berdarah Portugis.
Konon, menurut cerita ibundanya, setelah pelayaran berminggu-minggu dari tempat asal sekitar lima abad silam, kakek moyangnya bersama rekan-rekannya terdampar di Kerajaan Negeri Daya. Penguasa setempat saat itu, Pahlawan Syah, memerintahkan balatentaranya menemui pasukan Portugis yang terdampar tersebut. Tak ayal, perang pun pecah antara Balatentara Daya dan pasukan asing yang berambut pirang, berhidung mancung, dan berkulit putih. Akhirnya, tentara asing itu pun takluk di bawah kekuasaan balatentara Pahlawan Syah yang kemudian menawan mereka di sebuah kamp berpagar tinggi yang dikenal saat ini sebagai Kampung Meunanga. Pahlawan Syah yang ketika itu resah oleh perang sipil dengan beberapa kerajaan tetangga seperti Pase dan Pidie memanfaatkan keberadaan tentara Portugis, yang kebetulan mengerti soal senjata api, untuk membuat mesiu bagi armada perangnya. Karena tak ada pilihan lain, ditambah lagi tidak adanya bantuan dari negeri leluhur, mereka akhirnya tunduk pada perintah Pahlawan Syah dan hidup berbaur sebagai orang Daya. Beberapa diantaranya menjalin kasih dan kemudian menikah dengan penduduk setempat. Salah satu keturunan mereka diantaranya adalah keluarga Syam. Komunitas mereka dikenal sebagai “Bule Lamno”.
Meski berperawakan seperti “bule”, keluarga Syam yang hidup dari hasil melaut ini merupakan muslim yang taat dan penganut Islam yang fanatik. Mereka sempat mengalami tindakan diskriminatif karena dianggap berbeda dengan warga setempat. Itulah sebabnya, Fatimah, meski memiliki anugerah kecantikan yang luar biasa, sempat mengurung diri di rumah dalam waktu lama dan cenderung tertutup.
Keluarga Syam, termasuk keluarga “Bule Lamno” lainnya, tidak terlalu nyaman dengan sebutan yang beredar di masyarakat seperti si mata biru atau si rambut pirang. Hal ini disebabkan mereka telah tinggal di daerah yang sama selama berpuluh-puluh tahun serta mengerjakan aktifitas yang sama dengan penduduk asli. Sebagai ungkapan kekesalannya, Syam pernah menghitamkan rambut pirangnya dengan campuran minyak kelapa dan arang sukun agar perbedaan fisik dengan penduduk asli di sana tidak terlalu mencolok.
Sejak kecil, Syam sangat senang bermain-main di pesisir pantai bersama rekan-rekannya. Berlari di pasir putih dan menikmati debur ombak menghempas lembut di kaki merupakan suatu sensasi tersendiri. Mereka terkadang bermain bola diatas pasir dan merasakan betapa susahnya mengejar bola dengan kaki yang begitu berat dibebani himpitan pasir. Tsunami dashyat akhirnya menenggelamkan semua kenangan indahnya itu.
Namun kenangan yang tak akan tenggelam adalah tentang Aisyah, inong bermata biru yang telah membuat hatinya tertambat di sana. Wanita berparas jelita itu juga dianugerahi sepasang bola mata biru sebagai ciri khas menonjol komunitas “Bule Lamno”.
Mereka bertemu pertama kali saat penyelenggaraan upacara adatSeumeuleung sebagai peringatan syukuran penabalan Alauddin Riayat Syah sebagai Sultan di Negeri Daya yang kini menjadi Lamno. Sang Sultan kemudian bergelar Po Teumeurehom, yang sekarang makamnya di bukit Gle Jong dan kerap dikunjungi oleh ribuan peziarah. Penyelenggaraan acara ini bertepatan dengan hari raya Idul Adha.
Syam menemukan Aisyah ditengah sekelompok wanita muda yang sedang bercengkrama dan berjalan menyusuri pantai ditengah kemeriahan acara Seumeuleueng 2 tahun silam. Syam bersama kawan-kawannya kebetulan berpapasan dengan kelompok gadis itu.
Inong Tari Seudah Rupa[1], hendak kemana?” goda Hamzah salah seorang rekannya pada kelompok gadis itu.
Mereka tidak menjawab. Hanya tersenyum sebelum berlari kecil sambil tersipu. Syam sempat menangkap sosok seorang gadis berkerudung putih dan bermata biru seperti yang ia miliki. Pandangan mereka sempat bersirobok sesaat dan membuat hatinya bergetar hebat. Dia jodohku kelak, batin Syam.
Sejak pertemuan pertama tadi, Syam berusaha mencari tahu keberadaan Aisyah melalui adiknya Fatimah. Ternyata Aisyah adalah rekan sekelas Fatimah di SMU Lamno. Melalui adiknya, Syam menitip pesan untuk berkenalan namun tidak memperoleh tanggapan lebih lanjut. Tapi ia tidak kecewa. “Aisyah orangnya pemalu, Bang. Tapi salam abang buat dia sudah saya sampaikan,” kata Fatimah menjelaskan. Syam terus mencecar Fatimah tentang bagaimana reaksi Aisyah setelah menerima pesannya. Namun Fatimah hanya angkat bahu sembari tersenyum jenaka.
Saat musim Meuseuke Engkot[2], Syam yang sehari-harinya membantu ayahnya mencari ikan di laut dan hanya tamat SMA itu, beralih profesi menjadi pengemudi RBT[3]. Dengan meminjam motor seorang cukong dengan target setoran harian, Syam melakoni profesinya itu dengan tekun.
Di suatu siang yang terik beberapa bulan setelah mereka pertama kali bertemu, saat mengendarai motor RBT-nya, Syam melihat Aisyah tengah berjalan sendiri. Langkahnya terlihat bergegas. Syam lalu mendekati gadis itu dengan motornya.
“Terimakasih Bang, saya tidak mau naik RBT. Saya mau jalan saja,” tampik gadis itu terlebih dulu sebelum Syam menyapanya. Ia lalu mempercepat langkah.
“Kalau begitu, biar abang temani jalan. RBT-nya biar abang tuntun,” kata Syam berkompromi dan mencoba menyusul Aisyah sambil menuntun motor disampingnya.
Gadis itu mendadak menghentikan langkahnya, berbalik dan memandang Syam dengan tajam. Mata biru Aisyah ibarat belati menghunjam tepat di hatinya.
“Ini jalan sepi, Bang. Jangan sampai mengundang cibiran orang nanti. Lebih baik abang cari penumpang lain saja. Lagipula rumah saya tidak jauh lagi koq, tinggal sekali belok disana” kata Aisyah lembut sambil menunjuk ke depan.
“Saya Syamsuddin, kakak Fatimah, teman kelasmu. Saya bukan pemuda berandalan yang akan menganggumu, Dik. Abang hanya ingin berkenalan dengan kamu. Tapi kalau memang keberatan, abang akan pergi sekarang,” sahut Syam. Dengan pesona mata biru elangnya ia balas menatap manik mata Aisyah yang kemudian tertunduk malu. Syam merasakan degup jantungnya berdetak lebih cepat, sang pujaan hati itu telah berada tepat di depannya.
Ia kemudian menaiki sadel motornya. Sebelum memutar balik motor kearah yang berlawanan dengan Aisyah, ia berkata di sela-sela deru mesin motor,” Aisyah, mata biru kamu indah.” Syam kemudian memacu motornya.
Sepulang sekolah, keesokan harinya, adiknya Fatimah menyampaikan salam kembali dari Aisyah setelah sejumlah salam darinya tak berbalas. Katanya, Mata Biru Abang Syam juga indah dan mohon maaf atas kejadian kemarin.
Syam tersenyum. Ia baru saja menorehkan warna pelangi dalam satu babak kehidupannya.
Hari-hari berikutnya, menjadi hari-hari penuh gelora cinta bagi Syam. Setiap adiknya berangkat ke sekolah, ia menitip salam atau terkadang surat cinta untuk Aisyah. Syariat Islam yang ditegakkan secara ketat di Aceh tidak memungkinkan mereka sebagai pasangan yang belum menikah bertemu secara terbuka. Namun surat cinta di antara keduanya seakan menjadi saksi bisu bagi perjalanan cinta mereka. Ketika masih menjadi pengemudi RBT, Syam senantiasa menguntit dari jauh perjalanan pulang Aisyah ke rumah. Aisyah tahu itu. Ia selalu menoleh ke belakang sesaat sebelum berbelok di tikungan, melontarkan senyum fenomenalnya ke arah Syam yang duduk diatas sadel motor RBT 50 meter darinya. Syam membalas dengan lambaian tangan dan mengembangkan senyum balasan.
Setelah Aisyah tamat SMU, Syam tidak perlu menunggu lama lagi untuk melamar pujaan hatinya itu. Bersama ayah, ibu dan kerabatnya, mereka datang melamar Aisyah untuk menjadi istri Syam. Sambutan hangat mereka terima dari keluarga Aisyah yang kemudian segera menetapkan hari pernikahan mereka sebulan setelah prosesi pelamaran tersebut.
“Kita adalah pengantin bermata biru,” kata Syam mesra di telinga istrinya, Aisyah diatas pelaminan, di sela-sela kemeriahan pesta pernikahan mereka, beberapa bulan silam. Aisyah tersenyum malu dan mencubit pinggang suaminya. Seusai pesta pernikahan, mereka menempati rumah Aisyah karena sebagai anak tunggal satu-satunya, Aisyah belum diperkenankan tinggal terpisah jauh dari ayah bundanya. Syam memaklumi itu. Lagipula, rumahnya pun hanya berjarak kurang lebih dua kilometer dari tempatnya bermukim sekarang.
Syam menjalani profesi sebagai nelayan mengikuti jejak ayahnya. Namun ketika musim Meuseuke Engkot datang, ia kembali menekuni profesi sebagai pengemudi RBT.
Syam begitu mensyukuri anugerah Allah atas kebahagiaan yang diterimanya. Selain istri yang cantik dan alim, Aisyah mampu tampil sebagai pendamping hidupnya yang setia bersama dalam suka maupun duka. Kebahagiaan pun terasa lengkap saat Aisyah mengabarkan kehamilannya. Mata Syam berkaca-kaca, terharu mendengar kabar menyenangkan itu. Dipeluknya Aisyah erat-erat dan mencium keningnya dengan mesra.
Sampai akhirnya bencana tsunami itu merenggut semuanya, termasuk kebahagiaan yang telah ia reguk bersama Aisyah. Ia masih ingat betul saat gempa dashyat melanda Aceh saat pagi baru membuka tirainya. Setiap pagi, Syam mempunyai kebiasaan mempersiapkan perahu dan jala sebelum melaut didepan rumah. Di hari Minggu yang naas itu, gempa mengguncang dashyat. Syam berlari masuk rumah dan meminta seluruh anggota keluarganya untuk segera keluar rumah menyelamatkan diri dari kemungkinan lebih buruk. Semua selamat, termasuk istrinya Aisyah dan kedua mertuanya.
Tiba-tiba air laut surut. Sejumlah warga berlarian kearah pesisir pantai, melihat ikan-ikan yang terdampar dan menggelepar-gelepar disana. Tidak berapa lama kemudian gelombang ombak besar datang menderu dengan kecepatan tak terhingga. Syam dan Aisyah menatap, dinding air setinggi pohon kelapa yang menerjang, dengan perasaan ngeri.

Syam menggenggam erat tangan istrinya dan menariknya lari. Sekencang-kencangnya. Ia tidak melihat kedua mertua yang sebelumnya berada di dekatnya. Sejumlah orang ikut berlari dengan perasaan panik dan ketakutan luar biasa. Ombak besar datang menggulung, memutar dan menghempaskan Syam dan Aisyah. Genggaman tangan mereka terlepas. Syam berusaha menggapai istrinya. Ia berteriak sekuat tenaga memanggil namun kekuatan ombak raksasa itu tak kuasa dilawannya. Ia tidak ingat apa-apa lagi.
Saat tersadar, ia seperti bangun dari kematian. Tubuhnya tersangkut di sebuah pohon, sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Ia selamat dari bencana mengerikan itu. Tapi tak ada Aisyah disampingnya. Rasa sakit menjalari sekujur tubuhnya. Dengan kekuatan yang tersisa, ia turun dari pohon dan berjalan tertatih mencari Aisyah, istrinya. Ia memanggil sekuat tenaga dengan harapan yang kian rapuh. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Di jalan, di bawah reruntuhan bangunan, di pohon, di mana saja. Sambil menahan sakit di sekujur tubuh, Syam membolak-balik setiap mayat yang ditemuinya.
Tepat di tikungan jalan tempat Aisyah biasa berbelok menuju ke rumah, ia menghentikan langkah. Tubuh Aisyah tergeletak di bawah pohon mangga, tempat ia biasa berteduh dan menoleh sambil tersenyum, ke arah Syam yang sedang duduk menguntitnya dengan motor RBT. Jilbab putih istrinya sudah berubah warna menjadi coklat gelap lumpur. Syam memeluk istrinya erat-erat, menciumnya, mengalirkan kehangatan dan cinta kasihnya yang tak terhingga. Ia mencoba menemukan kerjap indah mata biru Aisyah, tapi sia-sia. Mata istrinya telah tertutup untuk selama-lamanya. Kepedihan luar biasa melanda batinnya.
Saat itu Aisyah sedang mengandung 2 bulan, hasil buah kasih cinta mereka.
****
Syam menunduk, menekuri tanah tempat kami duduk.
Aku tertegun menyimak kisah hidupnya. Malam mulai turun dan desau angin laut terasa menggigilkan tubuh. Aku menghela nafas panjang. Sungguh berat penderitaan yang dialami lelaki muda ini.
“Mari kita pulang ke barak, Bung Syam,” ajakku sembari bangkit.
Ia tak bergeming sedikitpun.
“Hidup kita masih harus terus berlanjut Bung Syam. Tidak berhenti sampai disini. Putus asa tidak akan menyelesaikan semuanya dan mengembalikan Aisyah kembali di sisi Anda. Yang paling penting saat ini, Anda mesti merelakan kepergian Aisyah sebagai takdir yang sudah digariskan dari Allah, Tuhan penguasa semesta alam. Untuk kemudian bangkit melanjutkan hidup lebih tegar dan bermakna sebagai bagian dari fitrah ke-khalifahan kita dimuka bumi,” tuturku tenang.
Syam mengangkat wajah. Ia memandangku. Mata birunya seperti terluka, tapi aku melihat secercah cahaya harapan disana. Pandangannya beralih kedepan. Kedua tangannya bertumpu pada lututnya. Ia menghela nafas panjang lalu mengangguk pelan.
Aku menepuk pundak Syam dan membantunya bangkit dari tempat duduk lalu berjalan bersamanya. Samar-samar aku mendengar debur ombak menghempas pantai seperti mendendangkan tembang pilu. Tentang kenangan yang tenggelam, tentang mimpi-mimpi yang hilang.

Tidak ada komentar: