Rabu, 09 November 2011

Kutemukan sebuah cahaya

Pagi itu bertepatan hari sabtu, dari sebuah room Deluxe Suite Hotel Lor In yang terletak di Jalan Adi Sucipto Solo, tampak seorang pemuda masih asyik bermalas-malasan dengan melihat tayangan sebuah program berita, ”Apa Kabar Indonesia Pagi” di TV One. Terlihat tayangan yang dikemas secara santai, dengan konsep outdoor yang berlokasi di sebuah lapangan di Jakarta.

Tampak disana, lalu lalang orang – orang yang sedang berlari – lari kecil, dengan handuk kecil di pundaknya. Sementara sang host, sedang santai mewawancari dua orang nara sumber, yang kebetulan sedang membahas dampak pengeboman Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton bagi ekonomi makro di Indonesia.

Edi Sutanto namanya, seorang Account Officer dari sebuah lembaga ventura di Jakarta. Kebetulan hari jum’at kemarin ia bertemu dengan salah seorang klient, untuk melakukan survei dan menganalisa kelayakan proposal pembiayaan dari sebuah perusahaan agriculture di Solo. Dari hasil analisa diperoleh data bahwa payback period project tersebut terlalu lama, IRR maupun NPV juga tidak masuk. Belum lagi ditambah aspek manajemen yang lain, sehingga ia mengambil kesimpulan bahwa perusahaan tersebut untuk tidak layak untuk dibiayai, namun pemilik perusahaan tersebut mengemis – ngemis supaya proposalnya disetujui. Bahkan tidak hanya itu, menjelang ia akan kembali ke hotel tempat menginapnyapun, ia sempat ditawari sejumlah uang sebagai success fee jika proposalnya disetujui.

Jam dinding telah menunjukkan pukul 09.00 pagi, tampak Edi keluar dari roomnya. Ia berpakaian santai dengan mengenakan kaos oblong putih dan jelana jeans warna biru, sementara di telapak tangan kanannya tergenggam sebuah Blackberry Bold. Iapun berjalan keluar dari hotel menuju jalan raya di jalan Adi Sucipto, terlihat ia melambaikan tangan kepada seorang tukang becak yang berjejer tidak jauh dari hotel tersebut.

”Pak, jalan – jalan muter Solo ya ?”, pintanya kepada tukang becak itu. ”Monggo mas.” jawab si tukang becak. Rupanya Edi ingin jalan – jalan menikmati keindahan kota Solo dengan naik becak. ”Ke Manahan aja dulu pak ? ” terdengar Edi berbicara kepada si tukang becak. Becakpun melaju menuju lapangan Manahan Solo dengan santai, sementara di kanan jalan berseliweran kendaraan pribadi dan umum membuat angin menerpa Edi dan tukang becak itu. Terlihat sesekali Edi bertanya asal usul si tukang becak itu, dan dengan suara khas Solo, tukang becak menjawabnya. Sesampai di Manahan, Edipun berhenti sejenak. Terlihat kemudian Edi makan di warung lesehan yang ada di sekitar stadion itu, Edi berusaha menawarkan si tukang becak itu, namun dengan santun tukang becak menolaknya.

Setelah ke Manahan, kemudian Edi dan tukang becak berjalan lagi menuju Jalan Slamet Riyadi menikmati keindahan di kota Solo. Tak terasa waktu sudah berangsur sore, becakpun bergerak menuju Jalan Adi Sucipto ke Hotel Lor In tempat Edi menginap. Ketika sudah selesai, Edipun mengeluarkan uang seratus ribu dan diberikan kepada tukang becak tersebut. Namun tanpa disangka tukang becak itu berkata, ”Mas, nyuwun ngapunten, ini terlalu banyak bagi saya.” begitu kata tukang becak itu. ”Ya..ga apa-apa, itung – itung dapat rejeki tambahan dari saya.” kata Edi. Namun, dengan sederhana tukang becak itupun berkata, ” Mas, biasanya dalam satu hari, paling besar saya dapat ya lima puluh ribu, jadi kalau seratus ribu, terlalu banyak. Hak saya cuma lima puluh ribu mas.” Mendengar jawaban itu Edi agak berkenyit, iapun berkata, ”Ya sudah...bagaimana kalo kita makan bareng saja pak, pakai uang yang lima puluh ribu ini, gimana ? ” tanya Edi.

”Begini mas, bukan menolak rejeki tapi saya dapat lima puluh ribu hari ini saja, saya sudah bersyukur, karena kebutuhan dua hari saya dan keluarga sudah tercukupi.” Begitu kata – kata akhir dari si tukang becak. Akhirnya Edipun mengganti uang yang seratus ribu itu dengan lima puluh ribuan. Kemudian tampak tukang becakpun pergi meninggalkan Edi, yang kelihatan masih terheran – heran dengan perilaku tukang becak tersebut.

Sesaat kemudian tampak Edipun masuk ke roomnya di Hotel Lor In, kemudian ia terlihat duduk merenung. Ia menatap keluar lewat jendela, ia pandangi Jalan Adi Sucipto dimana ia bertemu dengan tukang becak tadi. Fikirannya melalang jauh, terlintas bagaimana kemarin ia ditawari sejumlah uang sebagai success fee, jika ia bisa meloloskan proposal klientnya.

”Hem...tukang becak saja bisa bersyukur...” gumannya dalam hati. Iapun lama termenung, merenungi diri sendiri, sambil bertanya dalam hati, ”sudahkah saya termasuk golongan orang yang bersyukur ?” Ia begitu miris, ketika memandangi dalam – dalam dirinya di kaca cermin, betapa dalam hatinya, selalu merasa ”kurang dan kurang”. Iapun tertegun, perlahan mengambil air di wastafel membasuk mukanya yang terasa kering sambil berkata lirih....astaghfirullahal’adzim. Sesaat kemudian ia mulai merasa menemukan sebuah cahaya....cahaya yang mengingatkan agar ia bisa bersyukur. Telah banyak artikel yang ia lihat tentang bersyukur, tidak sedikit buku yang ia baca yang mengupas makna dan pentingnya bersyukur, namun ia tidak begitu tersentuh oleh artikel dan buku – buku itu, justru hatinya tersentuh oleh tingkah seorang tukang becak.

Melalui tukang becak itu, ia bisa lebih menghayati tentang makna dan pengertian bersyukur itu sendiri, bukan karena definisi bersyukur yang ia baca, namun dari perilaku bersyukur tukang becak tersebut. Iapun menemukan sebuah cahaya di Jalan Adisucipto itu. Cahaya yang berasal dari perilaku tukang becak.

Tidak ada komentar: