Kamis, 03 Mei 2012

UJIAN NABI IBRAHIM AS




Allah SWT berfirman didalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 124,

Dan ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan kalimat-Nya, maka ia menunaikan ujian-ujian itu. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi manusia. Ibrahim bertanya, “Dan dari keturunanku juga?” Allah menjawab, “Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang dzalim".

Bermacam-macam pertanyaan meliputi akal kita. Mengapa Allah SWT harus menguji setiap insan sedangkan Dia Maha Mengetahui? Bagaimanakah bentuk ujian itu? Bagaimana hasil ujian terhadap Nabi Ibrahim AS? Adakah ganjarannya dan dalam bentuk apakah ganjarannya? Kita akan membahas semua pertanyaan ini satu demi satu.

Maksud dari ujian-ujian ini bukanlah perihal lulus/tidak lulus ataupun tuntutan prasyarat memperoleh predikat yang lain. Maksud yang sebenarnya ditunjukkan dengan penggunaan kata ‘Rabb’ didalam ayat diatas. Allah memilih kata ini sebagai kata ganti untuk penyebutan atas Dzat-Nya berikut seluruh sifat-Nya, demi menunjukkan bahwa maksud ujian ini adalah untuk memupuk kekuatan ruhaniah dan jasmaniah seorang hamba dan melatihnya mengahadapi tujuan-tujuan yang semakin bertambah tinggi.

Seorang penyair Urdu bertutur, “Wahai Rajawali, janganlah gentar dengan kencangnya terpaan angin-haluan. Karena, itulah yang mengangkatmu semakin bertambah tinggi.” Begitulah, kesulitan-kesulitan merupakan latihan bagi seseorang untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi kedudukannya.
Kita ketahui dari ayat diatas, Allah SWT juga mengeluarkan pernyataan tetang hasil ujian terhadap Ibrahim AS, yaitu bahwa ujian itu telah ditunaikan oleh Ibrahim AS. Bahkan didalam Surat An-Najm Ayat 37 Allah SWT memberikan rujukan secara lebih indah lagi perihal Ibrahim AS.

Dan Lembaran-lembaran (shuhuf) Ibrahim yang selalu menyem- purnakan janji.

Demikianlah maka dapat kita simpulkan bahwa Ibrahim AS telah berhasil menjalani ujian-ujiannya. Hasilnya, Allah berfirman kepadanya, “Aku akan menjadikanmu pemimpin umat manusia.” Atas amanat ini, Nabi Ibrahim AS bukan hanya bahagia, melainkan memikirkan juga bagaimana dengan generasi penerusnya mendatang. Perhatiannya ini mendapat jawaban dari Allah SWT bahwa sesungguhnya, kelak akan diangkat pemimpin-pemimpin umat manusia dari generasi penerus Ibrahim AS, tetapi bukan dari orang-orang yang jahat dan aniaya. Jadi, dari golongan ahli kitab yang mengada-adakan sekutu bagi Allah SWT tidak bisa menjadi pemimpin-pemimpin dikarenakan perbuatannya itu.

Sekarang kita akan membahas beberapa ujian terhadap Nabi Ibrahim AS. Kita mulai dari ujian ketika beliau masih bersama-sama orangtua beliau dan masyarakatnya. Disaksikannya mereka menyembah patung-patung hasil karya tangan mereka sendiri. Nabi Ibrahim AS bebicara kepada berhala-berhala itu sebagaimana diterangkan didalam Surat Ash-Shaffat Ayat 91~98

Kemudian ia secara diam-diam menghampiri berhala-berhala mereka kemudian bertanya kepada berhala-berhala itu, “Apakah kamu tidak makan (sajian yang diberikan kepadamu)? Mengapa kamu tidak menjawab?” Kemudian ia menghampiri berhala-berhala itu sambil memukulnya kuat-kuat dengan tangan kanannya. Kemudian kaumnya bergegas mendatanginya. Ia berkata, “adakah kalian menyembah benda yang kalian pahat sendiri? Sedangkan Allah telah menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu!” Mereka menjawab,” Dirikan untuknya bangunan (api unggun), lalu lemparkan ia kedalam kobaran api itu.” Mereka hendak melakukan tipu daya kepadanya, Maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hina.

Nabi Ibrahim AS dengan tegar mengatakan,

“ Cukuplah Allah sebagai penolongku dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”

Maka, Allah SWT memerintahkan kepada api yang berkobar itu menjadi benar-benar sejuk agar Ibrahim AS merasa nyaman.

Sekarang marilah kita telusuri perjalanan Nabi Ibrahim AS yang harus pergi meninggalkan ayahnya dan masyarakatnya beserta apa-apa yang mereka sembah. Ia pergi ke Syria bersama istrinya. Peristiwa ini diabadikan oleh Allah SWT didalam Surat Ash-shaffat Ayat 99~100

Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku yang pasti akan memberi petunjuk kepadaku. Wahai Tuhanku! anugerahilah aku (anak/keturunan) dari golongan para shalihin.

Dari ayat di atas, para ulama berpendapat bahwa menikah dan berusaha untuk mendapatkan keturunan yang shalih merupakan Sunnah dari para Nabi, supaya mereka dapat mengemban tugas yang diamanatkan Allah SWT. Salah satu contoh lain mengenai hal ini adalah Nabi Zakaria AS yang berdo’a sebagaimana difirmankan Allah SWT didalam Surat Ali ‘Imran Ayat 38

Kala itu Zakaria berdo’a memohon kepada Tuhannya, “Wahai Tuhanku! Anugerahilah aku anak yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a”.

Oleh karena itu, kita harus berdo’a, memohon kepada Allah SWT, agar kita dianugerahi-Nya anak-anak yang ta’at dan shalih.

Allah SWT telah mengabulkan do’a Nabi Ibrahim AS, ia dianugerahi seorang putra yang di kemudian hari menunjukkan kesabaran dan ketegaran yang luar biasa. Hajjar, istri Nabi Ibrahim AS, melahirkan Ismail AS.

Allah SWT memerintahkan Malaikat Jibril untuk membawa Ibrahim AS beserta istri dan putra mereka yang katika itu masih bayi ke suatu tempat yang kini kita kenal sebagai kota Makkah. Setiba mereka di Makkah, Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk segera kembali ke Syria. Jiwa kepatuhan kepada kehendak Allah SWT yang begitu tinggi dalam diri

Ibrahim AS membuatnya bergegas meninggalkah Makkah menuju Syria. Istri beliau bertanya, “Kemanakah pergimu sehingga meninggalkan kami berdua disini?” Ibrahim AS tidak menjawab. Istri beliaupun bertanya lagi, “Mengapa kau tinggalkan kami di tempat yang tak nampak ada kehidupan, tiada air maupun tetumbuhan?” Masih saja Ibrahim AS tidak menjawab pertanyaan sang istri. Akhirnya Hajar pun bertanya, “Adakah kepergianmu ini atas Perintah Allah SWT?” Nabi Ibrahim AS menjawab singkat, “Ya.” Hajar pun menanggapi, “Baiklah kalau demikian, karena Dia yang mengutusmu pastilah juga akan mengurus dan menjaga kami disini.”

Ketika Nabi Ibrahim AS pergi mengitari bukit, beliau berhenti sejenak dan memanjatkan do’a, “Wahai Allah, telah aku tinggalkan keluargaku di sebuah tempat dimana tiada nampak tanda-tanda adanya tetumbuhan apapun jua. Karena itu aku memohon kepadaMu sediakanlah untuk mereka buah-buah kehidupan, agar mereka dapat menegakkan shalat dan sungguh-sungguh berserah-diri kepada-Mu.”

Perlu digaris-bawahi bahwa, seperti demikianlah cara para Nabi membuat keseimbangan antara hak-hak Allah SWT dan hak-hak manusia. Cara ini berlainan dengan cara para sufi yang secara totalitas membenamkan diri hanya dalam pelaksanaan hak-hak Allah SWT.

Ini adalah sebuah ujian yang besar bagi Nabi Ibrahim AS sekeluarga. Hajjar RA mendapati putranya yang masih bayi menangis kehausan. Ia pun bergegas menghampiri bukit terdekat, yang dikenal dengan nama bukit Shafa, untuk mencari air. Namun kekecewaaan yang didapatnya. Iapun kembali berlari menghampiri bayinya yang masih saja menangis. Ia berlari kearah bukit yang lain yang dikenal sebagai bukit Marwah karena ada tanda-tanda adanya air. Namun, kembali ia kecewa, yang dilihatnya hanyalah fatamorgana. Hingga tujuh kali Hajjar RA berlari-lari diantara Safa dan Marwah demi untuk mendapatkan air bagi bayinya. Setelah yang ketujuh-kalinya, ia kembali menjumpai bayinya. Dilihatnya si bayi sedang menggosok-gosokkan kedua telapak kakinya ke tanah dibawahnya. Betapa terperanjatnya Hajjar, air memancar dipermukaan tanah bekas kaki bayinya. Mata air inilah yang kemudian dinamakan ZAM-ZAM. Airnya mengalir hingga kini mencukupi kebutuhan air untuk kehidupan.

Nabi Ibrahim AS biasa mengunjungi keluarganya dari waktu ke waktu. Ketika Ismail beranjak remaja, Ibrahim AS berkata kepadanya, “Wahai putraku, didalam mimpiku aku melihat bahwa aku mengorbankan (menyembelih) kamu. Bagaimanakah pendapatmu?” Disini kita diberi teladan bahwa seorang ayah hendaknya berkomunikasi dengan anaknya. Nabi Ibrahim AS pun menyampaikan secara lembut dan menunggu tanggapan dari putranya. Hal ini membuka kesempatan untuk terjadinya dialog dimana perlu. Selain itu, dalam hal ini juga terjadi proses penjajakkan kadar kesadaran sang putra dalam berserah-diri kepada Allah SWT. Selanjutnya dapat pula kita petik sebuah teladan bahwa, di usia inilah seorang anak bisa mulai membantu orangtuanya, dan semua orangtua sangat menunggu-nunggu anak-anaknya beranjak remaja. Allah SWT menyuruh Nabi Ibrahim AS mengorbankan putranya di usia prima ini.

Tak dapat disangkal lagi bahwa ini adalah satu lagi ujian terberat bagi keluarga Nabi Ibrahim AS. Jawaban Ismail sungguh amat memesona, “Wahai ayahku, laksakanlah apa yang telah diperintahkan-Nya kepadamu.” Betapa seorang remaja belia ini sangat jelas kepahamannya atas mimpi ayahnya yang seorang Nabi, bahwa itu adalah wahyu Allah SWT, maka berarti pula adalah perintah-Nya. Ismail yang masih muda belia pun melanjutkan jawabannya, “Insya Allah ayah akan mendapatiku tergolong orang-orang yang sabar.” Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari jawaban ini. Pertama dan terutama, kita harus mengucapan Insya Allah dalam berkomunikasi sebagaimana juga telah diperintahkan kepada kita didalam Al-Qur’an Surat al-Kahfi Ayat 24 dan Surat Nun (Al-Qalam) Ayat 18. Pelajaran ke-dua, Ismail yang muda belia itu telah menyadari bahwa diwaktu lampau sebelum dirinya, telah banyak orang-orang yang sangat sabar. Alih-alih membanggakan kesabarannya, ia bersikap lebih merendah dan berkata, “ Atas perkenan Allah SWT, engkau akan mendapati aku termasuk dalam golongan orang-orang yang sabar.”

Kedua orang ini, Ayah dan putranya, kemudian berjalan kaki menuju tempat yang bernama Mina. Di perjalanan syeitan mencoba membujuk sang ayah, dengan mengatakan, “Yang kamu lihat hanyalah mimpi. Mengapa hendak kamu sembelih putramu di usianya yang begitu didambakan?” Maka Nabi Ibrahim AS mengusir syeitan itu dengan cara melemparinya dengan batu-batu kerikil. Namun Syeitan itu pantang menyerah, ia membujuk juga dengan cara serupa kepada Ismail maupun ibunya.Dan syeitan itupun mendapat perlakuan yang sama dari Ismail dan ibunya, mereka telah mengalahkan tipu daya syeitan dengan kekokohan iman mereka.

Sampailah saatnya mereka berdua pada kesiapan untuk melaksanakan pengorbanan. Terjadi dialog singkat yang amat menyentuh kalbu antara mereka berdua,

Ismail berkata:
• “Wahai ayahku, ikatlah kedua tangan dan kakiku agar aku tidak meronta.”
• “Asahlah pisau yang akan engkau gunakan untuk menyembelihku hingga benar-benar tajam dan hendaklah engkau keratkan dengan cepat ke leherku agar dengan demikian jiwaku pun cepat meninggalkan tubuhku.” Karena kematian adalah proses yang sangat rumit.
• “Hindarkanlah pakaianmu dari percikan darahku agar tak terkurangi balasan Allah SWT kepadaku karenanya, dan agar ibuku tidak menjadi sedih dan pilu lantaran melihat noda darahku.”
• Sampaikanlah salamku untuk ibunda dan berikanlah pakaianku kepadanya, untuk menenteramkan hatinya.”
Nabi Ibrahim AS menyimak pesan putranya yang amat menyentuh hati ini namun ini tidak melenakannya dari perintah Allah SWT. Beliau katakan kepada putranya, “Wahai putraku, betapa kamu telah meringankanku dalam menunaikan tugas dari Allah SWT untuk kita ini.”
Seluruh peristiwa ini diliput dalam surat Ash-shaffat Ayat 103~107

Ketika keduanya telah berserah-diri kepada Allah, dan (Ibrahim) membaringkan putranya pada pelipisnya. Maka Kami (Allah) memanggilnya, “Wahai Ibrahim, engkau telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya dengan demikian Kami berikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini adalah ujian yang sangat nyata. Dan Kami menggantinya dengan sembelihan yang besar.

Seekor domba besar telah menggantikan Ismail untuk dikorbankan. Selanjutnya Allah SWT mengabadikan Ibrahim AS dengan jalan memerintahkan generasi-generasi selanjutnya untuk bersalam kepadanya. Allah SWT tidak hanya menyelamatkan Ismail, lebih dari itu dianugerahi-Nya Ibrahim AS dengan seorang putra lagi yakni, Ishak. Mereka berdua, putra-putra Ibrahim, kemudian juga dipilih Allah SWT menjadi Nabi yang terkenal.

Allah SWT amat menyukai kepasrahan diri para anggota keluarga Ibrahim AS, oleh karena itu Allah SWT mengabadikannya sebagai bagian dari kegiatan Ibadah Haji, sebagai lambang dan teladan untuk generasi berikutnya.
Semoga Allah SWT menganugerahi kita dengan kesadaran diri, jiwa yang berserah diri dan semangat berkorban untuk mengikuti kehendak Allah SWT sebagaimana telah dicontohkan oleh keluarga Nabi Ibrahim AS. Amiin.


Tidak ada komentar: