Selasa, 13 Maret 2012

Apa yaa? Apakah hidup ini khan lebih baik dari mimpi bag 10 Tamat

Namun, kepanikannya terhenti, ketika melihat sebuah file
dalam flashdisk tersebut, flashdisk yang dikira mikiknya itu.
File itu bernamakan ‘aisycha_citra_ramadhan.txt’.
“Kok nama aku siy?” kata hatinya heran. Ia lantas
membuka dan membacanya. Dan ternyata itu sebuah puisi.
 
rasa ini kan kupelihara 
wajahnya masih tercitra di mataku
suaranya masih terngiang lembut
senyumnya masih kurasa indah
sungguh tiada tara
rasa ini kan kupelihara
takkan kubiarkan hilang begitu saja
hatiku hanyut bersama cinta di dada
kan kuberi cintaku hanya untuknya
apakah ada citanya untukku?

====================================
Puisi ini saia buat saat teringat
seseorang yang baru kukenal, ‘Aisycha
citra Ramadhan’ namanya.
Aisycha, wajahmu mengalihkan duniaku
[ngiklan dikit :D]. Sungguh, mungkin
engkaulah cinta sejatiku yang telah
lama kucari itu ^^

Puisi itu dibuat Rama sesudah ia dan teman-temannya
selesai memperbaiki komputernya, yang kamudian ia salin ke
flashdisk miliknya setelah ditemukan [dikembalikan oleh Aldy,
adik Aisycha itu].
Aisycha tersenyum membacanya.
“Ya Allah, kok begini, kok begitu sih? Apa ini cintaku yang
sesungguhnya?! ... Kembalikan saja lah, Kak Zik pasti sangat
membutuhkan flashdisk ini. ... Pura-pura aja nggak tau.”

Aisycha keluar rumah dengan maksud untuk mengembalikan
flashdisk tersebut.
“Yaahhh.. motornya dipake si ayah lagi.” Dengan
terpaksa Aisycha berjalan kaki. Baru saja melewati tiga rumah
dari rumahnya Aisycha berpapasan dengan Rama. Rama
langsung menghentikan laju motornya, dan menyapa Aisycha.
“Icha, mau ke mana? Pasti karena ini kan?” sapa Rama
sambil mengacungkan flashdisk.
“Iyah, flashdisk-nya ketuker. Ini kak.” Aisycha tak banyak
basa-basi.
“Mmm... sekalian tukeran nomer HP yaa? Bolehkan?”
“Hm, boleh. Nomor Kakak berapa?” ucap Aisycha.
“0857 24 011 330 udah..” sebut Rama.
Aisycha mencatatnya dan langsung me-misscall-nya.
“Yap, udah,” ucap Rama menyimpan nomor Aisycha.
“Dan ...”
“Dan apaa?” tanya Aisycha.
“Ada satu lagi yang ingin kukatakan sebenarnya,” ucap
Rama.
“Apa Kak?” tanya Aisycha lagi.
“... Gimana kalo kita tukeran cinta?”
Aisycha terdiam sesaat dan berkata, “Iiihh, tukeran cinta
apaan??”
“Masa nggak ngerti?” tanya Rama.
Kayaknya Aisycha tau bahwa Rama telah membaca
catatannya itu.
“Kak Zik dah baca catatanku yah?!”
“Nggak kok..” Rama ngeles seraya tersenyum.
“Jangan boong, hayoo.. ngaku ajaa..”
“Iyaa, Aku ngaku deh, emang siy sempet baca. maaf
yaahh. Dimaafin nggak??.”
“Pasti aku maafin. Mmm, aku juga, baca-baca puisi
Kakak. Maafin juga yaa!!” kata Aisycha agak tertunduk malu.
“Hmm.. Maaf..” keduanya berucap demikian bersamaan.

Tak lama kemudian, “Kamu terlihat lebih indah dan
berseri..” ucapan itu keluar begitu saja dari lisan Rama
perbawa perasaan hati yang sebenarnya. Spontan saja
Aisycha sedikit memalingkan wajah manisnya.
“Cha, Mau ke rumah kan?” tanya Rama meng-clear-kan
suasana. Sedang Aisycha hanya menganguk seraya tersenyum
hangat.
“Mari kuantar tuan putri!” ucap Rama.
“Mariii..!!” ucap Aisycha.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, Rama mengisinya
dengan obrolan bersama Aisycha.
“Kamu punya Facebook?!” Rama memulai pembicaraan di
perjalanan pulang.
“Pastilaah..!”
“Tambahkan aku yah..”
“Mmm.. boleehhh.. e-mail-nya apa?? tanya Aisycha.
“Aduh lupa lagi.. Coba nanti liat di e-book yang adik
kamu baca itu, pasti ada..” ucap Rama hendak merogoh
handphone miliknya, namun ia urungkan. Ia sadar ia sedang
berkendara.
“Memang ada sih..” ucap Aisycha.
“Owh.. udah di baca yah..”
“Iyaa..”
“Jangan lupa add lho??”
“Iyaa.. Nanti aku add deh..”
 
Tak lama dari itu, lantas Rama bertanya kembali dengan
pertanyaan yang persis sama saat bertukar nomor handphone.
“Kamu mau kan tukeran cinta denganku??” tanya Rama.
“Ihh.. pertanyaan itu lagi... Mmm... gimana yah..?” ucap
Aisycha gak nyangka mau nanya seperti itu lagi.
“Gimana.. gimanaa???” ucap Rama memanjangkan lafal
‘a’ agak lama di akhir ucapannya.
“Mmm..m nanti aku jawab via Facebook sajahh,” jawab
Aisycha yang pipinya nampak memerah.

“Yaa kelamaan dong.. Kan belom ditambahin..? Add
sekarang ajaa.. lewat HP.. hehee..”
“Nantiii.. ajaaa... nggak sabaran banget siy.. gak baik tau
berkendara sambil mainin handphone,” ucap Aisycha
tersenyum gemas. “Iyaa nanti aku add kalo udah nyampe
rumah.. Tapi confirm yah,, awas kalo nggak di confirm..!!”
tambahnya lagi mengancam.
“Yaa pastilah.. di-confirm oleh si akuw..” ucap Rama kian
akrab.
“Facebook kamu sesuai nama asli kamu kan?” tanya
Rama lagi.
“... Ehh.. awass itu banyak paku.!” seru Aisycha. Rama
langsung membelokkan sedikit arah motornya untuk
menghindari paku-paku yang bertebaran.
“Iyaa.. Facebook punyaku pake nama asli kok..”
sambungnya.
“Oke deehh.. siipp lah..” ucap Rama sambil
memperlambat laju sepeda motornya.
Tinggal beberapa meter lagi menuju halaman rumah
Aisycha, tiba-tiba saja tetangga rumah Aisycha yang sedang
menyebor tanaman tak sengaja menyemprotkan airnya
kepada mereka. Rama dan Aisycha jadinya kecipratan air juga,
tak hanya tanaman saja.
-¤¤-¤¤-
 
Awan mimpi kini menghilang, seiring dengan semburan
air yang datang.
Byurrr... air kran mengalir dalam lorong-lorong selang
menyembur ke muka pemuda itu yang lagi enak tidur
menjelejah mimpi.
“Woy, bangun udah siang Loe. Gak malu Loe ma
mentari ..., susah banget sih dibangunin!!” celoteh salah
seorang temannya yang memang belum terlihat jelas rupanya
siapa. Ternyata itu Ricky dan Pak Satpam yang tersenyum 
sambil memegang selang air. Pemuda ini tak kaget lagi, apa
lagi buat marah-marah pada mereka. Hal seperti ini mah
sudah biasa dan ini untuk yang kelima kalinya dia diguyur
kayak gini, waktu dulu empat kali dan sekarang satu kali mulai
lagi.
“Buruan mandi,” kata Pak Satpam sambil menepuk
pundaknya.
 
Pas banget ketika mereka keluar, temannya yang satu
lagi masuk. Kelihatannya sih usai dari Mushola habis Sholat
Dhuha kayaknya.
“Hey cuy napa Loe?! Basah kuyup kayak gini. Udah
renang di mana? Atau atap pada bocor ya?” Dengan akrabnya
Dik Halim menyapa pagi pertamanya di tempat ini, untuk kali
kedua. Memang dulu sempat di sini.
“Eh, Im..!!” Begitu ia biasa panggil temannya tersebut.
“Iya nih, diguyur air bah,” tambahnya seraya tersenyum.
“Eh, entar besok-besok ajak-ajak gue bangun pagi, biar
gak ketinggalan sholat lagi, kalo gak bangun-bangun guyur
aja kayak tadi..”
 
Dik Halim hanya tersenyum mendengar ucapan temannya
tersebut. Seraya meng-iya-kan.
“Iyaa, berresss..”
“Gue mandi dulu, entar gue ceritain kenapa gue balik lagi
ke sini,” ucapnya. Memang kemarin pas ia datang belum
sempat cerita ini itu.
“Yoii.. buruan sana..” ucap Dik Halim.
Pergilah ia menuju kamar mandi dengan handuk di
pundaknya, sambil mengingat-ingat mimpi semalam.
15 menit berlalu, ia pun muncul dan berpakaian rapi.
“Cerah juga ya hari ini.” Dik Halim memulai pembicaraan
dan memandang keluar kaca jendela.
“Iya..” jawab pemuda itu, teman Dik Halim.
“Katanya Loe mau cerita.” Dik Halim mengingatkan.
“Oh iya. Bentar..” Ia melangkah mendekat kaca jendela.
 
Menghela nafas sejenak, mengumpulkan tenaga tuk berbicara.
“Hmm.. Sebenarnya gue ke sini lagi tu bukan karena gue
kambuh lagi, Im. Tapi lebih ke belum siap aja, gue butuh
ketenangan. Udah seminggu sepulang dari dini rasanya
mental gue belum cukup siap. Masih ada rasa ketakutan
terjerumus lagi ke dunia kelam. Hidup dengan Narkoba dan
tak menentu. Apa lagi teman gue yang suka nge-drug sering
ngajakin gue buat pake lagi.”
 
“Oo, gitu ...” ucap Dik Halim singkat, tak berkata panjang
lebar. “Sebenarnya gue kepingin di sini terus seperti Loe,
ngurusin anak-anak yang lain yang membutuhkan.”
“Yah jangan gitu, Loe masih punya keluarga, saudara,
mereka masih ngebutuhin Loe. Sedang gue udah gak punya
siapa-siapa.”
“Bener juga sih..”
Sejenak keduanya terdiam menatap langit biru.
“Eh Im. Loe bisa temenin gue ke rumah buat berikan
buku untuk ponakan gue yang hari ini ulang tahun, mumpung
cuaca cerah nih.”
“Bisa-bisa.., Bro. Sekaraang juga?”
“Bentar lagi dah, ... seusai makan.”
“Wokayy.. entar gue tunggu di depan,” ucap Dik Halim.
Beberapa saat kemudian. Pemuda ini pun muncul seraya
berkata.
“Yoi, berangkaaatt..!!” ajak pemuda itu.
“Yoo...!!”
 
Motor dihidupkan, mereka pun meluncur menjauh dari
halaman menyusuri jalan-jalan kota yang lumayan kotor dan
macet juga terkadang tak aman.
Tiba-tiba saja dalam perjalanan ia melihat seseorang
yang sedang mengobrol di seberang jalan mengenakan t-shirt
bertuliskan “Gue Moslem, napa Gue gak Sholat..?!”
Hatinya terdiam sesaat, sambil terus mengingat-ingat
kata-kata tadi dan terus mengejanya dalam hati. Hatinya pun
tersentuh, dimana ia kerap lalai dalam hal sholat. Seraya
membenarkan bahwa ia setuju dan sangat setuju dengan
kata-kata itu tadi.

“Gue Moslem, napa Gue gak Sholat..?!”
“I’m moslem. Kenapa gue tak Shalat..?!! Why..??
Kenapaa..?! Harusnya gue Shalat..!!”
“Dulu pernah lihat film ‘Kiamat Sudah Dekat’. Kiamat
sudah dekat, kiamat terus mendekat dan semakin dekat saja
rasanya, faktanya. Apa lagi kalo makin banyak orang yang
lalai dan tinggalkan Shalat, atau memang lupa-lupaan sudah
menjerat. Ya Allah, ampunilah diriku yang kerap tersesat.
Terimalah taubatku, ku teramat takut padaMu”
 
Sayup-sayup dari kejauhan kumandang adzan terdengar.
“Im, Shalat dulu yuk!” ajak pemuda itu mengagetkan Dik
Halim yang sedari tadi bengong.
“... Eeeh ... yuk-yuk, Shalat dulu,” jawabnya kaget.
Namun Dik Halim merasa heran, ada yang aneh dengan
temannya ini, “Tumben ni orang, biasanya juga gue yang
ngajakin.”
Terlepas dari rasa herannya Dik Halim dan pemuda itu
pergi menuju mesjid di pinggir jalan sana. Terus beranjak
mengambil air wudhu. Dan melaksanakan Shalat Dzuhur
berjamaah.
 
Seusai Shalat mereka melanjutkan kembali perjalanan.
Motor dihidupkan dan mulai menjauh dari mesjid. Beberapa
saat tak begitu jauh dari mesjid, ponsel berdering. Dik Halim
yang sedari tadi asyik memendangi jalan, seraya meraba-raba
kantung belakang celananya tuk mengambil dan menjawab
telpon yang masuk tentunya.
 
“Ada yang telpon yaa? Gue pinggirin dulu motornya”
Dik Halim pun cepat-cepat menjawab telpon tersebut,
yang ternyata dari panti. menyuruhnya tuk segera kembali,
ada sesuatu di sana yang membutuhkannya.

“Cuy, gue mesti ke panti dulu nih, darurat. Jadi gue gak
bisa terus nemein sampe rumah. Sorry uy..!!” Dik Halim
permisi mau ke panti dulu.
“Ooh.. gak apa-pa. Mau gue anterin ke pantinya?”
“Ah.. gak usah entar Loe telat lagi, gue naik bis aja. Yuk
ah.. gue tingal dulu..!” sambil mereka bersalaman.
“Yoi..!! Hati-hati..”
 
Dik Halim bergegas berlari menyebrang jalan menunggu
Bus Angkutan Kota yang datang.
Setelah Dik Halim tiba di seberang jalan.
“Cuuy..!! gue pergi..!!” sahut pemuda ini yang sudah siap
dengan motornya tuk lanjut kembali.
 
Baru beberapa belas meter, di pertigaan jalan nampak
mobil truk dengan kecepatan tinggi yang terlihat oleng.
Dengan cepat truk itu menghantam motornya hingga ia pun
terjatuh dan bersimbah darah. Ia tertabrak truk dengan plat
nomor yang sama persis seperti yang terlihat dalam
mimpinya. Ia tak sadarkan diri.
 
Dik Halim yang dari tadi menunggu bus dan memandangi
laju motor temannya mulai melangkahkan kakinya ke pintu
bus. Tiba-tiba saja dari dalam bus, salah seorang penumpang
berkata dengan nada tinggi, “Wah, itu ada kecelakaan..!!”
Saat itu juga ia hentikan langkahnya dan langsung berlari
ke arah kejadian itu, yang tak begitu jauh. Ia memang tak
tahu persis yang mengalami kecelakaan itu siapa, namun ia
khawatir itu adalah temannya.
 
Keadaan pun kembali ricuh. Truk yang menabrak motor
tadi berbalik buat kabur. Sial memang, truk itu pun menabrak
lagi sisi mobil yang sedang melaju di sebelahnya. Hingga
mobil itu tergelincir dan kemudian menabrak pohon pinggiran
jalan.
Setelah sampai di sana, ia kaget setengah mati.
Ternyata, dia, pengendara motor yang tertabrak truk itu yang
kini penuh dengan darah, memang temannya.

“Innalillaahi..” Melihat kondisi temannya demikian, ia pun
panik, matanya sembab. Dik Halim bergegas membawanya ke
rumah sakit dengan dibantu orang-orang yang ada di tempat
kejadian.
Dik Halim langsung saja menghubungi keluarga pemuda
itu, memberitahukan kejadian tersebut. Dan juga menelpon
panti, bahwa ia tak bisa kembali ke sana sekarang, ia pun
menceritakan kejadian yang menimpa temannya.
“Innalillahi wainna ilaihi raji’un..”
Pemuda itu, sahabat Dik Halim, kini telah tiada.
Meninggalkan keluarga, teman dan lainnya. Tangis keluarga
tak tebendung lagi adanya.
 
Sesaat kemudian setelah pemuda itu dimandikan,
dikafani, dan disholatkan. Ia pun dimakamkan di daerah
dimana ia dilahirkan.
Di sana terlihat seorang pria yang juga ikut bersedih. Pria
itu adalah kakak dari pemuda yang kini meninggal itu.
Bersama cucuran air mata, masih ada dalam benaknya saat ia
bicara dengan adiknya waktu lalu.
“...”
“Kak..”
“Aku bukan kakakmu lagi..!!”
“Kakk..!! Jangan bicara begitu! Aku ini adikmu..!”
“Adikku bukan orang seperti itu, bukan orang seperti ini!
Yang hanya bisa... haahh!! Sudahlah..!!”
“Kak, aku butuh pertolonganmu..!”
“Uang?! Apa itu uang yang kau butuhkan?? Buat apa
lagi?! Ngedrugs lagi?!! ... Tak ada!!”
“Bukan. Bukan, Kak..! bukan itu!”
“Sudahlah..! Cukup..!! Pergi saja kamu dari sini!! Dari
rumah ini! Dan jangan coba-coba.. kembali lagi..!!” dengan 
geram yang teramat sangat, ia usir pemuda itu, yang memang
merupakan adiknya.
 
Setelah kakaknya berkata seperti itu, pemuda itu pun
bicara, “Baiklah..!! Okeyy..!!” sambil memalingkan wajah.
“Apa kakak lupa Islam itu indah??” lanjut pemuda itu menatap
tajam wajah kakaknya.
Kakaknya ini terdiam tak berkata lagi dan mulai mau
mendengarkan ucapan adiknya itu.
“Aku ingin rasakan keindahan itu, Kak! Kenyamanan
Islam itu bukanlah buat orang soleh, buat orang seperti kakak
saja kan?! Tapi juga untukku, untuk orang yang terjatuh ke
dalam kubangan dosa. Yang sedang, ingin, akan terus
berusaha menggapai cahaya??” ucap pemuda itu.
 
Kata-kata adiknya yang seperti itu meluluhkan hati sang
kakak untuk senantiasa mendampinginya, menuntunnya.
Pria itu meraih tanah kuburan dan menggenggamnya
erat, seakan belum bisa menerima kembali sebuah kehilangan.
“MmmH.. adikku..” ucapnya paraw.
Usai pemakaman ketika keluarganya dan temantemannya
masih berada disana. Dik Halim memegang erat
buku itu, buku yang hendak kan pemuda itu berikan kepada
keponakannya, yang judulnya ‘Belajar Mencintai Rasulullah’,
masih utuh tak tergores, tak terkotori. Ia lalu memberikan
buku tersebut kepada adik kecil, ponakan pemuda itu.
 
“Adik.., ini dari paman Adik, hadiah ulang tahun Adik,
katanya,” lirih Dik Halim dengan terbata-bata.
Lalu keponakan almarhum pemuda itu pun menengok
dan menerimanya.
“Teerimaa kassiih..” ucapnya tak nampak nada bahagia.
Kemudian ia berkata kepada ibunya yang berada di
sampingnya.
“Ibu.., ini dari paman, hadiah ulang tahun.., katanya..”
Air mata pun kembali menetes tak terbendung, menghujani
buku yang digenggamnya, buku yang kini telah diterimanya.

Seiring bertemu titik di halaman terakhir, buku pun
tertutup oleh kedua tangan yang tadi membacanya,. Tiga
tetes air mata membasahi kelembutan pipinya, yang ia hapus
dengan jemari lentiknya.
Kemudian ia menyimpan kembali buku itu di tempatnya,
di lemari, di ruang tamu itu.
“Udah Kak bacanya??”
“Udah, mau baca ini juga?!”
“Boleh Kak, mana sini..!!”
“Nih, Dik..!!”
. . .
“Ceritanya abizzz dahh...!!!”
Catatan:
Cerita ini semata-mata untuk mengingatkanku akan ini akan itu..
Maaf, sorry, afwan yaa kawan.. ceritanya dibikin simple-simple saja,
biar bisa dibaca semua kalangan termasuk anak-anak juga..
Seandainya kalo dibikin ruwet kayak bahasa pemrograman yang saia
pun gak bisa, beuh bisa-bisa dahi para pembaca mengkerut berlamalama
termasuk saia tentunya sajaa..

Tidak ada komentar: