Selasa, 13 Maret 2012

Apa yaa? Apakah hidup ini khan lebih baik dari mimpi bag 6

Di sebuah rumah sakit, di ruangan yang cukup luas tak
sempit, ada seorang pasien sedang membaca sebuah surat
yang telah diambil dari amplopnya. Dipakailah kacamatanya,
Pak Zakaria mulai membaca kata demi kata. Maksud dari surat
itu ternyata sebuah permintaan maaf Haris padanya.
Kepada Yth. Guruku, Pak Zakaria
 
Assalamu’alaikum..
Pak, apa kabar?
Dengan surat ini, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan
pada bapak. Maaf, Pak. Maaf sebelumnya.
Ketika saya berkunjung ke rumah bapak waktu itu. Saya
menyesal, Pak. Ada sebuah kesalahan yang mungkin besar telah
saya lakukan, saat saya nge-print dokumen di rumah bapak.
Maaf, saya lihat sebuah keylogger terpasang di begian belakang
komputer bapak, dan salahnya saya mengambil data yang
terekam pada keylogger tersebut. Juga sebuah program yang
bapak buat, lagi-lagi saya mencurinya, meng-copy-pastekannya
ke flashdisk saya tanpa izin, tanpa sepengetahuan
bapak. Sekali lagi maaf, maafkan saya, Pak. Maaf saya hanya
ingin tau. Maaf.
Begitu kiranya, semoga bapak berkenan memaafkan
kesalahan yang saya buat.
Tertanda,

Haris Hudaya Putra
Hanya ada senyuman yang terpancar dari wajah Pak
Zakaria, seraya berkata, “Saya maafkan, Nak.”

Dipanggillah seseorang olehnya. “Apa acaranya sudah
selesai?” tanya Pak Zakaria.
“Kayaknya sudah, Pak,” jawabnya.
“Tolong panggilkan Haris Hudaya Putra padaku..” pinta
Pak Zakaria.
“Baik, Pak!”
Beberapa saat kemudian, orang itu kembali lalu berkata,
“Pak, Haris Hudaya Putra tak ada di sana. Dan katanya, ia
sudah meninggal, Pak.”
“Meninggal?! Innalillahi wa inna...” kata Pak Zakaria
kaget seraya memelankan ucapannya.
Lalu muncullah dua orang Panitia menghampiri Pak
Zakaria. “Ini beberapa berkas yang dibutuhkan Panitia,” kata
Pak Zakaria menyerahkan beberapa dokumen yang masih
tertutup rapat dalam amplop berwarna cokelat.
-¤¤¤-

Acara kembali dilanjutkan, diumumkanlah siapa-siapa
saja yang menjadi pemenang. Setelah Panitia memprosesnya
dengan cukup lama.
“Di dalam kompetisi ini, tidak ada yang menang-kalah,
tapi lebih ke berhasil atau tidak. Ada beberapa orang di sini
yang berhasil memecahkannya, walau tak seluruhnya tepat
dan akurat. Kami panggilkan Aniza, Fahrainy, Gofa, Luthfikri,
Ozi, juga Rizky. Silakan untuk ke atas panggung,” kata Panitia.
Mereka pun naik untuk sekedar menerima sebuah
penghargaan dan hadiah secara simbolis.
“Selamat untuk Ke 6 peserta mereka layak mendapatkan
itu. Dan untuk pembahasan lebih jelasnya mengenai acara ini
semua akan dibahas nanti ba’da Dzuhur,” ucap ketua Panitia
memberhentikan sejenak.
-¤¤¤-
 
Datanglah beberapa dosen ke kamar pasien. Hendak
menjenguk Pak Zakaria. Kesemuanya adalah teman seprofesi
Pak Zakaria dulu.
Tiba-tiba dua orang masuk menghampiri Pak Zakaria,
menyerahkan video rekaman acara yang baru saja selesai.
Lalu memutarnya di laptop, di perlihatkanlah kepada Pak
Zakaria dan disaksikan juga oleh beberapa temannya.
“...”
“Pak, ini kayak mahasiswa kita dulu,” kata Pak Zakaria.
“Mana, Pak?” kata dosen di sebelah Pak Zakaria.
“Yang ini..!!” jawabnya sambil menunjuk salah seorang.
“Ini salah seorang mahasiswa berprestasi di kampus kita.
Kita sempat kehilangannya, dan baru kali ini lagi saya
melihatnya,” ucap dosen yang lain.
“Siapa yaa namanya? Hmm??” kata dosen yang satu lagi.
“Dia Luthfikri, Bapak-bapak dan Ibu sekalian. Dia
menggantikan Haris Hudaya Putra yang tak bisa hadir dan tak
kan pernah hadir di acara ini..” tutur salah seorang Panitia
acara yang ada di sana yang tadi menyerahkan video rekaman
itu.
“Haris Hudaya Putra?”
“Ehh.. Iya itu juga mahasiswa kita dulu kan, Pak?!” kata
Ibu dosen.
“Aagh.. Iya, mahasiswa kita..” kata Pak Zakaria sambil
menahan sakitnya.
“... Kenapa, Pak?”
“Tak apa-apa..”
“...”
“Mmm.. Emangnya kenapa Haris tak ikut?”
“Dia sudah dipanggil.. oleh Yang Maha Pencipta..” jawab
Pak Zakaria.
“Yaa Allah.. Innalillahi..”
Pak Zakaria bertanya pada kedua Panitia itu, hanya enam
orang ini yang berhasil??”
“Iya, Pak. Ini daftar namanya. Mm.. Ini.. Aniza, Fahrainy,
Gofa, Mm.. Luthfikri, Ozi dan Rizky.”
 
“Aniza, Fahrainy, Gofa, .. Luthfikri, .. Ozi, .. Rizky.”
“Kesemua ini diambil sesuai peraturan yang Bapak buat.
Dan untuk yang lainnya, memang mereka belum berhasil.”
“Terima kasih, saya ucapkan sungguh terima kasih buat
semuanya.. Arghh..” kata Pak Zakaria merasakan dadanya
sangatlah sakit.
“...”
“Pak.. Pak.. Aduhh..”
“...”
“Panggilkan dokter atau suster.. cepatt..!!” kata seorang
dosen.
“Suster.. suster..!!” salah seorang dari mereka memanggil
keluar.
“...”
“Mm..”
“Yaa, Pak?” tanya seorang anggota Panitia.
“.. Tolong hubungi Pak Yusuf untuk segera ke sini,” pinta
Pak Zakaria.
“Baik, Pak!” kata salah seorang Panitia yang ada di sana.
-¤¤¤-
 
Di siang hari yang cerah, ada sebuah keluarga yang
sedang berkumpul, duduk di depan meja, makan siang
bersama di sebuah mol ternama. Tujuannya hanya untuk
menghibur Nindya yang sedang berduka lara, ditinggal kakak
kandungnya.
Di sana, Nindya ditemani bundanya, bunda Tiara, juga
ayahnya, ayah Yusuf yang datang belakangan selepas dari
kantornya, setelah memberikan sambutan di acaranya Pak
Zakaria. Kebahagiaan tercitra lewat pancaran kedua mata
mereka.
Bertemulah mereka bertiga dengan Anggara juga Mentari
yang akan mengadakan pertemuan kecil di tempat yang sama.
“Ehh.. tu Nindya udah ada di sini..” kata Angga.
“Heyy..!” sapa Mentari.
“Heeyy..!!” jawab Nindya.
“Ehh.. Om, Tante..”
“Eee.. Angga dan Tari..” kata Om Yusuf.
“... Dya, yang lain udah pada dateng??” tanya Mentari.
“Belom..” jawab Nindya singkat.
 
Tiba-tiba handphone Om Yusuf berdering memaksa
mereka berdiam berhenti bercakap sejenak. Ternyata itu
panggilan dari salah seorang Panitia di acara Pak Zakaria,
memintanya untuk segera ke rumah sakit.
“Ma, ada panggilan dari rumah sakit, papa harus segera
ke sana dulu sekarang..”
“Mama ikut yaa..”
“Memangnya siapa Om yang sakit?” tanya Mentari.
“Pak Zakaria, temen Om..”
“Nindya mau ikut juga??” tanya Om Yusuf.
“Dya, di sini aja, Yah. Sudah janji sama temen-temen
soalnya.. nggak enak..”
“Iya deh, Ayah pergi dulu.. Om dan Tante tinggal yaa..”
kata Om Yusuf langsung berangkat menuju rumah sakit
bersama Tante Tiata.
Setelah Om Yusuf dan istrinya itu pergi, datanglah Chyta
dan Prima.
“Hey.. hey.. hey..!!” sapa yang baru datang.
“Hey.. apa kabar ini..!”
“Yang ditungguin akhirnya datang juga..” sapa Mentari.
“Selamat ulang tahun yaa, Tari..” kata Chyta.
 
Mereka merayakan ulang tahun Tari dengan suka cita
dan sederhana, hanya makan-makan saja.
Hampir setengah jam lebih mereka mengobrol sana-sini
di sana. Hampir setengah jam pula Om Yusuf dan Tante Tiara
menempuh perjalanan menuju rumah sakit hingga beberapa
saat kemudian, tibalah mereka berdua dan langsung menuju
kamar pasien Pak Zakaria.
“...”
“... Pak, ini.. Pak Yusuf sudah datang..” kata seseorang
yang berada di ruangan itu.
“Pak..” sapa Pak Yusuf.
“Pak Yusuf.. inilah saatnya..” kata Pak Zakaria.
 
Masuklah beberapa orang yang memang berkepentingan
saat itu. Mulailah Pak Zakaria menuliskan sesuatu yang
disaksikan sendiri oleh Pak Yusuf dan orang-orang yang
bersamanya. Tak lupa kejadian itu pun direkam lewat sebuah
camcorder sebagai bukti, bahwa ini benar-benar nyata tanpa
rekayasa.
 
Bismillahirrahmanirrahim..
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Atas Ridho Allah yang Maha Melihat, Maha Menyaksikan.
Pada hari ini, Senin, tanggal 23 Januari 2006. Dengan tulus
ikhlas, tanpa adanya paksaan sedikit pun, dari siapa pun, dari
pihak mana pun. Saya menyatakan bahwa saya ...

Begitulah sebagian dari apa yang dituliskan Pak Zakaria.
-¤¤-¤¤-
Ceritanya terpotong..
Dilanjutkan setelah pesan-pesan berikut :P
-¤¤-¤¤-
Karena lelah, dan memang sudah malam, sudah saatnya
buat pejamkan mata. Aldy lantas tertidur.
Melihat putranya tertidur berbantalkan keyboard. Pak
Hijri, ayah Aldy, yang pada waktu itu masih menonton televisi,
memindahkan putranya ke atas hamparan kasur lembut dan
menyelimutinya hingga ia tak rasakan kedinginan.
Lalu Pak Hijri beranjak ke luar ke teras rumah, sejenak
menghirup udara malam, menatap langit yang bertabur
bintang yang nampak sempurna ditemani bulan.
 
“Alhamdulillah, aku masih bisa menyaksikan keindahan
ciptaanMu kala malam datang tuk menggantikan siang. Begitu
memesona, menyejukkan mata yang mulai lelah tiada daya.
Subhanallah,” ucap Pak Hijri lembut, tak hentinya bertasbih,
memandangi langit yang luas itu.
Setelah beberapa lama, kemudian ia kembali masuk ke
dalam rumah menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya.
Dan ia pun tidur mengikuti putra-putrinya yang mungkin
sudah terhanyut dalam pelukan mimpi.
 
Aroma malam terus berjalan hingga gelapnya kini sudah
terlewati tergantikan oleh sejuknya pagi.
Aisycha terbangun, ia bukakan kaca jendela, sejuk pagi
terasa memenuhi ruangan kamarnya. Tatapi bintang yang
bertabur di angkasa ditemani indah rembulan yang memancar
putih tak bernoda. Lalu ia ambil sehelai kertas yang kan ia
tulisi beberapa baris puisi.
 
mendamba subuh
sentuh hati dalam rasa
mendamba subuh di tiap harinya
saksikan kerlip bintang tertata
tatapi indah bulan memancar cahaya
rasa sejuk tak hanti selimuti raga
kurasa tenang, bahagia dalam dada
selalu rindukan akan pesona surga
saat fajar menjelang di hadapan mata

Kokok ayam terdengar dari alarm handphone milik
Aisycha. Adiknya pun bangun tak seperti biasanya, padahal
alarm yang begitu kencang tak pernah sedikit pun dapat
membangunkannya di hari sebelumnya, Aldy akan bangun jika
ayah yang membangunkannya.
Usai Sholat Shubuh, Aldy langsung menyalakan komputer
untuk membaca cerita semalam yang belum kelar dibacanya.
-¤¤-¤¤-
 Dan inilah lanjutan cerita itu..!!
-¤¤-¤¤-
Sejumlah orang masih berada di sana, di acara yang
diselenggarakan Pak Zakaria. Seorang ketua Panitia mulai
menjelaskan kepada orang-orang di hadapannya sesuai
dengan apa yang diperintahkan Pak Zakaria.
“...”
“Mungkin ada dalam benak anda-anda, berbagai tanya
yang belum ada jawab. Apa maksudnya Pak Zakaria membuat
sebuah program yang demikian itu. Yang jelas beliau
membuat acara ini seperti yang kita ketahui tentunya untuk
mempererat silaturrahim antara kita semua, terutama kawankawan
yang suka nongkrong di forum kita. Yap, Mari kita coba
bahas tentang program, aplikasi yang tadi itu. Langsung saja,
saya persingkat karena waktunya agak terbatas ini. Secara
keseluruhan, kita hanya diajak untuk menebak-nebak kata
yang diketikkan pada program tersebut dan tentunya saja
perlu trik tertentu untuk benar-benar bisa membukanya.
Simple kayaknya. Namun, ini ada maksud tersendiri, Pak
Zakaria mengharapkan ini dapat mengingatkan kita akan nilainilai
agama yang sering kita lupa, sering kita lalaikan. Yaa,
sebagai masyarakat yang berteknologi, kita tidak boleh lupa
akan nilai-nilai hukum dan agama, apalagi sengaja
melupakannya, tidak boleh itu. Seperti itulah sebagian maksud
beliau membuat acara ini,” tutur ketua Panitia menjelaskan.
 
“Sebetulnya ada tiga buah kata kunci untuk membuka
program ini secara tepat. ...” lanjutnya terdiam sejenak, lalu
memanggil seorang Panitia, “... Khair, sini. Tolong lanjutin.”
Khairuddin menghampiri dan melanjutkan kembali
pembahasan yang tadi. “Yaa, mari kita lanjutkan. Seperti yang
dijelaskan tadi, ada tiga kata kunci yang bisa digunakan untuk
memecahkannya. Ketiga kata kunci itu adalah, mau tau kan?!”
“Iyaa lahhh...” ucap hadirin serempak.
 
“Ketiga kata kunci itu yaitu ‘cintailahallah’, dengan huruf
kecil semua dan tanpa sepasi tentunya, terus
‘cintailahrasulullah’, dan yang ke tiga ‘cintailahsesama’.
Mengapa tiga kata kunci itu yang digunakan? Inilah jawabnya,
beliau terinspirasi dari sebuah situs web yang dikunjunginya,
dan situs itu selalu mengingatkannya akan putri kecilnya yang
telah tiada, yang memang suka sekali memutarkan sholawat
dalam album sholawat Cinta Rasul itu.”
 
“Mmm gitu yaa..”
“Ohh.. begitu..” kata sebagian para hadirin.
“Coba nanti kunjungi situsnya untuk sekedar
memastikan.. hehee..” ucap Panitia itu.
“Apa alamat webnya, Bang?!” tanya seorang hadirin yang
ada di belakang.
“Masa nggak tau?? Hmm.. terlaluu.. Coba deh klik saja
http://www.cintarasul.co.id yaa.”
“Ooo.. Cinta Rasul itu, Hadad Alwi dan Sulis itu kan?”
tanya yang lainnya.
 
“Yaa.. ya.. yaa.. bener tuhh ituu..”
“Di sana akan anda temukan kata-kata ‘Cinta Allah, Cinta
Rasul, Cinta Sesama’. Itulah yang dijadikan acuan Pak Zakaria
sebagai kata kuncinya. Begitulah kira-kira sebagian dari
maksud Pak Zakaria, dan maksud-maksud yang lainnya saya
tak tau persis itu apa. Mungkin cukup sekian..” sambungnya
Panitia itu mengakhiri bicaranya.
Ketua Panitia muncul kembali mendampingi Panitia yang
baru usai berbicara.
 
“Untuk ke 6 peserta yang berhasil, kami ucapkan
selamat, Anda berhak mendapatkan penghargaan yang lebih,
terutama ...” kata ketua Panitia itu, namun lagi-lagi
perkataannya tak ia lanjutkan. “Sebentar..” Ia menghampiri
salah seorang Panitia yang memanggilnya.
“Pak, ... mm.. Pak Zakaria meninggal,” ucap Panitia itu.
“Pak Zakaria maninggal?? Ahh.. yang benerr..??”
“Benar, Pak. Benar..”
“Innalillahiwa inna ilahi rajiun..”
 
Setelah mendengar kabar demikian, ketua Panitia itu
kembali ke hadapan para hadirin untuk mengabarkan perihal
kematian Pak Zakaria, juga menginformasikan pada semuanya
untuk hadir kembali besok lusa di waktu, tempat dan acara
yang sama.
Sebagian panita yang lain juga para hadirin buru-buru
pergi ke rumah sakit tempat Pak Zakaria dirawat. Ada juga
hadirin yang langsung menuju rumah kediaman yang berada
di dekat pertigaan jalan kota.
 
Sore hari yang masih terlihat cerah namun tak begitu
panas, Pak Zakaria akhirnya dikebumikan disaksikan orangorang
dekatnya, mahasiswanya, para karyawan perusahaanperusahaannya,
para dosen teman seprofesinya, dan sebagian
besar adalah warga sekitar. Semua orang merasa kehilangan
pribadi yang bersahaja dan baik hati itu. Begitu pula halnya
dengan Luthfikri, ia tak pernah bertemu lagi dengan sosok Pak
Zakaria.
Setelah itu, Luthfi menyempatkan dulu datang ke toko
buku untuk menggantikan pekerjaan temannya sebentar saja.
-¤¤¤-
 
Nindya yang masih ngumpul dengan teman-temannya
setelah beberapa lama, lalu ia menelphone bundanya.
“Assalamu’alaikum bunda..”
“Wa’alaikum salam..”
“Bunda sekarang di mana?”
“Bunda di rumah, habis melayat Pak Zakaria, teman
ayah.”
“Ohh.. kalo ayah, apa masih di sana??”
“Iya..”
“Hmm.. bunda, mungkin Nindya nggak bisa pulang cepat.
Mungkin agak malem nyampe rumahnya.”
“Sama Tari, kan?” tanya bunda Tiara.
 
“Iya Bunda, sama temen yang lain juga. Sekalian mau
nyari buku lagi.”
“Ohh.. kalo ada apa-apa telepon bunda yaa, Nin.”
“Iya Bunda, Insya Allah.. Ya udah gitu aja, Bun. Daah
bunda, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam..”
 
Langit di barat sana menguning kemerahan, matahari
tenggelam tak tampak lagi wajah terangnya. Adzan pun
berkumandang dari setiap penjuru, menyerukan untuk lekas
mengerjakan shalat. Nindya dan Mentari tiba juga di rumah
Mentari. Duduk sejenak melepas lelah dan langsung
mengambil air wudhu.
 
Bintang-bintang bermunculan kembali tersenyum
menyambut malam. Suara mobil terdengar berhenti di depan
rumah Tari. Itu Anggara yang hendak menemani mereka
berdua belanja buku.
“Kayaknya Angga, tuh..” kata Nindya.
“Iya.. berangkat sekarang yuk!” ajak Mentari.
“Ma, Pi, kita berangkat dulu..”
“Yaa.. hati-hati..”
Berangkatlah mereka menuju toko buku langganan
mereka.
Saat datang di sana, Nindya langsung menanyakan Luthfi
pada kasir yang berada di dekat pintu toko.
“Mbak, mau tanya. ... Kak Fikrinya masuk kerja nggak??”
tanya Nindya.
“Ngapain nanyain Fikri segala?” bisik Mentari.
“Ada deh mau tau aja.. hihii..” kata Nindya.
“Gimana Mbak, ada nggak??” tanya Nindya lagi pada
pegawai toko itu.
“Luthfikri yaa, tadi sih masih ada.. lagi di belakang
kayaknya, beres-beres mau pulang.”
“Ohh.. mm.. Mbak, tolong bilangin padanya. Ada yang
nanyain gitu, mohon tunggu sebentar, jangan dulu pulang.
Katakan ya Mbak.. saya mau nyari buku dulu..”

Tidak ada komentar: