Selasa, 13 Maret 2012

Apa yaa? Apakah hidup ini khan lebih baik dari mimpi bag 3

“Sumpah, masakan Tante.. uueeennaakk benerrr dah..”

“Masakan Bunda nomor satu lah, tiada dua. chef-chef
resto.. kalah..” ucap Nindya.
“Ehh.. berangkat sekarang yuk..!!” ajak Anggara.
“Nggak mau nyicip masakan dulu?” ucap Tante Tiara
sambil membawa makanan yang tadi dimasak.
“Eh.. Iyaa.. mana tante, penasaran nih..” ucap Anggara.
Mereka bertiga mencicipi masakan dulu sebelum
berangkat.
“Bunda, Dya pamit dulu,” ucap Nindya pada Tante Tiara.
“Daah.. Tante..” ucap Mentari dan Anggara.
“Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumussalaam..”

-¤¤¤-
PIN-nya telah Haris ketahui, kartu ATM pun di tangannya,
kini siap ia gunakan. Esoknya Haris pergi ke sebuah pameran
komputer dan outlet handphone untuk membeli barangbarang
yang ia butuhkan. Sebuah laptop, handphone, dan
beberapa alat pendukung untuk berkomputer kini dimilikinya.
Ketika ia hendak pulang menuju kosan mungilnya, ia lihat
seorang musisi jalanan memainkan ujung-ujung jarinya,
memetik dawai-dawai terbentang kokoh. Haris turun dari bus
yang mengantarnya. Semakin terdengar alunan nada yang
kian merdu, tak ada alasan baginya untuk tak
mendengarkannya. Ia perhatikan musisi itu, tak sedikit pun
lantunan lirik-lirik yang musisi itu ucapkan. Haris masih saja
memperhatikannya, hingga musisi itu mencoba berbicara
dengan teman yang berada di sampingnya, namun lagi-lagi
tak sedikit pun kata yang ia ucapkan, hanya gerakan jari
tangan dan kepala juga kertas beserta spidol sebagai alat
bicaranya. Haris tersadar, hatinya tersenyum melihat musisi
yang sedari tadi diamatinya.
 
“Subhanallah.. Engkaulah yang memberikan kekurangan
dan Engkau pula lah yang memberikan kelebihan-kelebihan
untuk mengisi kekurangan pada setiap orang,” lirih Haris
dalam hati.
 
Ia tertegun sesaat sebelum menggerakkan langkahnya.
Lalu pergi ke sebuah mesin ATM dengan maksud mengambil
uang untuk membeli sebuah gitar yang nantinya akan ia
berikan kepada seseorang yang mungkin sudah ia anggap
adik. Haris melihat sebuah poster PMI yang sedang
mengadakan penggalangan dana untuk korban bencana. Ia
lantas mentransferkan sejumlah uang ke rekening PMI terlebih
dulu sebelum mengambil uang.
 
“Saldonya masih banyak kok, cukuplah untuk membeli
sebuah gitar,” ucapnya. Lalu ia mampir ke toko penjual gitar.
Tibalah Haris di kosannya, “Akhirnya nyampe jugaa..
sekarang aku bisa berchatting ria dengan adik imutku
berlama-lama,” senangnya Haris saat ini.
Ia langsung menjajal barang-barang yang dibelinya.
 
Ketika ia surfing, merambah laman web sana-sini, tersiar
kabar bahwa ada sebuah virus bernamakan ‘k0rupt0r’ yang
katanya belum ada antivirus yang secara total membersihkan
jejak-jejak virus tersebut kala PC terinfeksi. Varian-varian baru
dari virus itu pun bermunculan. Haris akhirnya berinisiatif
untuk membuatkan sebuah aplikasi cleaner khusus yang
dinamakannya “k0rupt0r Perish” [k0rupt0r cleaner] atau lebih
dikenal dengan sebutan KP saja.
 
Kemudian Haris mengajak teman-teman kuliahnya dulu
juga kawan di dunia maya untuk mengembangkan software
tersebut. Sekian lama tercetuslah ide untuk menjadikannya
sebagai sebuah software yang open source, siapa pun boleh
untuk mengembangkannya, untuk memodifikasinya dan lain
sebagainya. Saat itu juga terbentuklah sebuah komunitas KP
Open Source Project dimana mereka saling melengkapi.
Suatu saat ada tiga orang anak muda datang ke kosan
Haris untuk sekedar berteduh dari jatuhan air hujan yang
lebat tak kunjung berhenti.
 
“Haris.. Hariss.. Ris..!!”
“Assalamu’alaikum..”
“Riss..!”
“Masih ada gak yah??” ucap Luthfikri sambil mengetukngetuk
pintu.
Haris akhirnya muncul, “Wa’alaikumsalam.. ehh.. kalian..
yoo masuk..” ucapnya.
“Pinjem handuk, Ris..” ucap Geo.
“Bentar gue ambilin..”
“Sini aku dulu..!!” Narto merebut handuknya kemudian
memberikannya kepada Geo juga Luthfikri setelah air hujan di
tubuhnya terserap serat-serat handuk.
“Kenapa pada balik lagi??” dikeroyok ujan??”
“Waah.. Benerr dikeroyok, pada bonyok nih.. hujannya
kayak jarum.. beuh..” tanggap Luthfi.
“Eh.. Loe gak jadi perginya?” tanya Geo pada Haris.
“Nantilah abis ujan reda..” jawab Haris.
Laptop Haris masih menyala dari tadi. Belum ia matikan.
“Kamu tu, Ris. Masih ngerjain pemrograman..?!”
Nggak, tadinya sih mau chit-chat sama adik gue, tapi gak
lagi online.
“Ohh.. ... Ehh, adik yang mana lagi?! Kan banyak yang
Loe anggap adik..” ucap Geo.
“Hm, rasanya tiap orang kamu anggep adik nih!!” ucap
Narto.
“Bukan rasanya lagi, tapi nyatanya..” sambung Luthfi.
“... Bener banget.. gue rindu berat sama adik kandung
gue.. makanya gini deh..” ucap Haris.
 
Pembicaraan mereka pun berganti topik saat Luthfikri
mulai bicara lagi. “Ehh, iya Ris. Tadi tu gue lupa, soal project
itu. Source terbarunya kirim ke e-mail saja yaa, biar nanti
didownload sendiri, gue nggak bawa flashdisk soalnya,” ucap
Luthfi yang juga ikut mengembangkan software cleaner itu.
“Boleh.. gue kirim deh sekarang..”
“Oke..okee..”
“Dah dikirim boss..”

Haris mulai kembali mengutak-atik laptopnya, Geo
genjrang-genjreng mainkan gitar bersama Narto menyanyikan
lagu, sedang Luthfi pergi keluar melihat butiran-butiran hujan
yang mulai jarang, tanda hujan akan segera berhenti. Dari
laptop Haris terdengar sebuah musik yang khas banget, cukup
familier bagi sebagian orang, musik yang biasa mengiringi
sebuah aplikasi crack atau key generator. Geo yang lagi asyik
dengan gitarnya tiba-tiba berhenti, “nge-crack software apa
lagi loe??” ucapnya langsung menghampiri Haris.
 
“Ah nggak, ngambil musiknya doank kok,” jawab Haris.
“Awaasss trojann..!!” ucap Narto bersamaan ketika Haris
berbicara.
“Hmm..” Haris menoleh seraya tersenyum.
“Go bajakaann..!!!!” ucap Narto lagi membuat genderang
telinga yang dengar serasa pecah.
Kemudian Luthfi menghampiri, ucapnya “Ahh.. kau ini..”
Lalu ia duduk bersama mereka.
“Use software bajakan before buy software berbayar,
benar toh..??!”
“Narr.. too..!!” ucap Haris, Luthfikri juga Geo serempak.
“Benarr toh??”
“Narr.. tooh..”
“Halah.. kamu-kamu ini seperti biasa hanya meledek
namaku saja..” ucap Narto.
“Habis unik sih..wkk..” ucap Geo, semua tertawa riang
sedang Narto garuk-garuk kepala kesal.
 
Sebenarnya mereka sadar, tindakan seperti itu
[menggunakan software bajakan] adalah hal yang melanggar
hukum, tapi toh mereka punya pandangannya sendiri sebagai
pehobi mengutak-atik software rasanya tak berlebihan.
Tawa canda mereka dihentikan dering ponsel Geo.
Instrumen jazz melantun dari ponselnya. “Ehh, bentar..” ucap
Geo lalu mengangkat panggilan telpon itu.
“Haloo, Bu. Ada apa Bu?” ucap Geo, ternyata yang
menelepon itu ibunya sendiri.
 
“Ini Geo,, kakakmu kan bakalan pulang dari Aceh. Tolong
jemput kakakmu itu sekarang yah di bandara,” ujar ibunya.
“Ohh.. Bentar lagi pulang ke rumah kok, lalu secepatnya
berangkat ke bandara.”
“Cepat yaa.. Ya udah gitu ajaa. Assalamu’alaikum..”
“Iya.. wa’alaikumsalam..” ucap Geo menjawab salam
ibunya, mengakhiri pembicaraannya di handphone.
Geo lalu berbicara dengan teman-temannya, “Mmm.. gue
mesti balik nih.. Nyokap gue nyuruh gue jemput kakak gue ke
bandara.”
 
“Kakak Loe yang laki??” tanya Narto.
“Bukannlaah.. kakak gue yang cewek. Abis dari Aceh.”
“Owh.. abis bantuin orang-orang yang kena bencana
tsunami tohh,” ucap Narto lagi.
“Iyaa.. kakak gue udah hampir 8 bulaanan..lah disana.”
“Wizz.. lumayan lama yah.. Jiwa kemanusiaan kakak loe
tinggi juga..” ucap Luthfikri.
“Yaa iyaalah, ..sama kayak adiknya ini, lebih tinggi malah.
Hmm.. hihiii..” tanggap Geo.
“Hahaaha.. ngarep.. bukannya sebaliknya??! Haha..”
ucap Narto.
 
“... Ehh, omong-omong soal bencana, gue jadi keingatan
akan dosa-dosa gue..” kata Haris yang memandangi temantemannya.
“Iya, saya juga, jadi keingatan apa kata Pak Ustadz..”
“Apa gitu?!” tanya Geo.
“Bencana itu memang ada kaitannya dengan perilaku
manusia,” tegas Narto.
“Hmm,, setiap bencana.. bisa jadi itu merupakan cobaan,
teguran bagi kita.. atau yang kita semua takutkan, itu
merupakan azab dari Yang Maha Pencipta.. Benar toh, Narto?”
Luthfi menambahkan.
“Mm.. Benaar..”
“Narr.. toh?? Kawan-kawan?”
“Narrrr.. tooo..” ucap mereka sambil menunjuk ke arah
wajah Narto.
“Yaa.. mulai lagiii... dan lagii..” ucap Narto.
“..Hujan dah reda tuh, saatnya gue balik dulu,” ucap Geo.
“Eh!! Yaa.. akuu ikutan balik.”
“Gue juga ngikutlah. Yuk Ris, kita pulang dulu!”
“Okee, Bro kalo gitu.”
 
Semua keluar dari kosan Haris.
“Kalo ujan gede lagi jangan balik lagi ke sini, gak bakalan
gue tampung..!! hehee..!” canda Haris sedikit teriak dari bibir
pintu kosannya.
“hahaaha.. lagian kosan loe bukan tempat penampungan
lagi..!! yoo Ris, gue balik!!” ucap Luthfikri.
“Yow.. hati-hati ban motor bocor..” ucap Haris.
“Okeyy.. Yoo Ris..!” ucap Geo sambil menjalankan motor
dan melaju ke jalan raya.
Ketika Haris hendak menutup pintu kosannya, tiba-tiba
ada yang memanggilnya, “Bang, Bang Haris..!!”
“Eh.. Sandy.. marii..” ajak Haris mempersilahkan.
“Kenalin Bang, ini temenku. Fan..”
“Haris..”
 
Fan menyodorkan tangan, mereka berjabat tangan.
“Tadinya mau ke rumah Sandy, masih di sana kan? Tapi
berhubung udah datang ke sini, yaa gak jadi pergi tentunya.”
“Iya, emangnya ada apa, Bang?”
“Mau main doang, udah lama nggak ketemu.”
“Iya yah, Bang. Sehabis dikejar sama Polisi aja ya Bang,
kita nggak bertemu lagi. Untung saja kita gak ketangkep. Ini
Bang, aku punya ‘barang’ nih. yang kusimpan sisa dulu. Abang
masih pake kan?” ucap Sandy.
“Mmm.. udah nggak.. simpan saja..!! Abang takkan
pernah membutuhkannya lagi..” ucap Haris.
Fan hanya terdiam melihat, mendengarkan, menyaksikan
pembicaraan mereka. Sandy menarik nafas dalam-dalam,
“Abang udah berenti?! Syukurlah.. kalo gitu, ‘barang’ ini akan
aku buang, takkan kusimpan, karena aku juga tak butuh ini.”
“Kamu udah nggak juga..?” tanya Haris pada Sandy.
“Iya, Bang. Aku lelah, cukup lelah dengan dosa-dosa. Aku
udah berhenti jadi pengedar, pemakai. Aku sudah berhenti.
 
Sekarang lebih fresh aja, Bang.”
“Owhh.. bagus..lah..”
“Untungnya aku dibantuin sahabatku ini untuk bisa lepas,
benar terlepas dari dekapan barang haram ini,” ujar Sandy
sambil menepuk-nepuk pundak Fan, Temannya itu.
“Kawan-kawan abang juga begitu, tidak menjauhi abang,
namun mereka terus berusaha agar abang bisa sembuh.
Kamu, Fan. Pernah diajaki buat make yang begituan nggak
sama Sandy?”
 
“Yaa nggak..lah.. Bang. Maaf Bang, ada ballpoint dan
kertas kosong?!” pinta Sandy.
“Ada.. ada.. sebentar.. ... ini,” ucap Haris, kemudian
menyerahkannya pada Sandy, lalu Sandy memberikannya lagi
kepada Fan.
Fan menuliskan di kertas kosong itu, “Saya nggak pernah
sekalipun dicekokin barang yang begituan atau sejenisnya oleh
Sandy. Sandy mengerti saya, saya tak pernah pakai barang
seperti itu, jadi Sandy pun menghargai pilihan saya itu,” begitu
yang dituliskan Fan.
“Maaf Bang, Sahabat aku ini nggak bisa.. bicara..” ucap
Sandy terbata-bata, sedang Fan kembali dengan senyuman.
Selanjutnya Haris membaca tulisan itu.
 
“Mmm.. baguslah.. inilah persahabatan sejati. Jadilah
sahabat yang baik, sahabat yang senantiasa saling
mengingatkan dalam kebaikan, saling mengerti, menghargai
pilihan temannya, membuat hidup lebih baik dan lebih baik
lagi,” tutur Haris.
Fan kembali menuliskan sesuatu, “Iyaa, buat lebih baik,
Kak. Lagi pula menjadi lebih baik itu adalah sebuah keharusan
dalam berkehidupan, bukan hanya sekedar pilihan hidup saja.”
 
“Hmm.. betul.. betull.. setuju banget dah..!” ucap Haris.
Ia menatap tajam wajah Fan, “..Bentar, bentar.. kayaknya..
pernah lihat deh.. ... Mm, Oh iyaa, pas lagi main gitar, di halte
bis sana, benar.. benar.. itu pasti kamu. Permainan gitar kamu
bagus,” ucap Haris lagi, Fan mengangguk dan tersenyum.
“Ehh.. ini ada gitar, abang kasih buat buat kalian berdua,
baru beli, masih garansi, hii,” ucap Haris.
“Beneran Bang, ..makasih Bang!” Sandy menerimanya
dan memberikan gitar itu pada Fan untuk dimainkan.
“Weiiaa.. permainan gitarnya professional abiss..” ungkap
Haris. Seusai Fan mainkan gitar, lalu ia berikan gitar itu pada
Sandy untuk dicobanya.
“Ayo coba Sandy..!” ucap Haris menantang.
“..Maaf Bang, permainan gitarku nggak secanggih Fan.
Lagian aku lebih condong ke vocalist,” ucap Sandy setelah ia
selesaikan sebuah lagu.
“Coba.. coba.. kamu yang nyanyi dan Fan yang mainin
Gitar,” pinta Haris. Mereka pun nyanyikan kembali sebuah lagu
namun berbeda dari yang tadi.
Pok.. tpokk.. pok pkk.. Tepukan tangan Haris
mengapresiasi pertunjukan Fan dan Sandy hingga berangsur
berhenti.
“Partner musisi yang handal..” ucap Haris menandakan
kekagumannya.
“Bang, ada air putih? Kering nih..” Sandy meminta air
sambil mengelus kerongkongannya.
“Tuh..! ambil sendiri ajalah..”
Sandy mengambil dua buah air minuman dalam kemasan
gelas, “Nih Fan!” Sandy menyodorkan pada Fan.
“Bang, numpang tidur satu jam, ntar bangunin yah..”
kata Sandy.
“Yaa silakan, nanti dibanguni dah. ... Fan, nggak ngikut
tidur juga?” ucap Haris, Fan menggelengkan kepala. Sandy
mulai pejamkan mata.
“Sini deh, kita main komputer!” ajak Haris pada Fan.
 
Haris menunjukkan sebuah software pengolah musik,
seraya berkata, “Lihat deh.. Coba kamu mainin gitar..!”
Fan konsentrasi dengan gitar yang dipegangnya, sedang
Haris merekam nada yang mengalun dari petikan gitar itu,
“Bagus kan?!” tanya Haris. Fan tersenyum mengacungkan
kedua jempol tangannya.
Fan kembali petik gitarnya dan Haris merekamnya. Begitu
selanjutnya hingga satu jam tak terasa berakhir. Haris
beranjak untuk membangunkan Sandy, “Woy, Sandy..
bangun.. bangun..!!” Sandy pun bangun.
 
Sesaat kemudian Sandy dan temannya pamit pulang.
“Saya pulang dulu Bang, nggak enak badan gini..” kata Sandy
pada Haris.
“Sakit apa?! Jangan lupa minum obat!”
“Nggak Bang, cuman butuh istirahat saja kayaknya.”
“Lanjutin aja tidurnya di sini..”
“Nggak ahh Bang, makasih.. Yuk Fan, kita pulang.. Ehh
Iya Bang, makasih juga gitarnya..” ucap Sandy pada Haris
seraya mengajak Fan.
“Mereka [Sandy dan Fan] akhirnya pulang berjalan kaki
menapaki trotoar di pinggiran jalan raya. Berhentilah mereka
di atas sungai yang melintasi jalan. Fan menggerakkan kedua
tangannya, maksudnya bertanya, “Kenapa berhenti di sini?
Kenapa?!”
 
Sandy merogoh saku celana, mengambil ‘barang haram’
serbuk berwarna putih, “Buat ini.. Fan,” katanya, menoleh
menatap wajah Fan.
“hm, Gue gak butuh ini..!!!” teriak Sandy membuangnya
ke sungai yang kecokelatan. Matanya terus ikuti hingga
tertelan oleh air sungai yang mengalir tak begitu deras.
-¤¤¤-
Suatu saat datang ke sebuah kampus tempat Pak Yusuf
berbagi ilmu dengan muridnya. Ia adalah Gofa yang hendak
menjemput kekasihnya bernama Lany, mahasiswi komunikasi.

Ketika Gofa lewat di depan Pak Yusuf yang sedang
menghubungi seseorang. Samar-samar terdengar Pak Yusuf
sesekali menyebut-nyebut nama Zakaria, nama yang tak asing
baginya, karena Zakaria adalah nama salah seorang dosennya
waktu ia kuliah dulu. Gofa berpura-pura membenarkan tali
sepatunya. Ia menguping pembicaraan di telephon itu,
“Benar,” pikir Gofa, yang di sebut-sebut itu memang Pak
Zakaria, dosennya itu.
Gofa lantas sembunyi di balik pertigaan lorong-lorong
kampus untuk kembali menguping.
“...”
“Pak Zakaria bikin software?! Software apa, Pak?” tanya
Pak Yusuf.
“Sejenis proteksi lah, Pak. Baut di jajal sama anak-anak
nanti,” tutur Pak Zakaria.
“Ohh gitu..” ucap Pak Yusuf singkat.
“...”
Suara lawan bicara Pak Yusuf tak begitu terdengar jelas,
tapi Gofa cukup paham maksudnya. Ia tambah tertarik karena
yang dibicarakan itu ada sangkut pautnya dengan software.
“Hei.. lagi ngapain??!” tanya Lany mengagetkan Gofa.
“..He.. Hei..iyy.. Eh, ngagetin aja. Gak, nggak apa-apa,”
ucap Gofa.
Gofa menghampiri Pak Yusuf untuk sekedar berkenalan,
“Pak.. maaf Pak, tadi saya menguping pembicaraan Bapak di
handphone. Bapak ini temannya Pak Zakaria?” tanya Gofa
setelah Pak Yusuf memasukkan handphone ke dalam saku
bajunya.
“Iyaa.. Anda ini saudara Pak Zakaria?” tanya Pak Yusuf.
“Ohh, bukan. Saya mahasiswanya dulu saat beliau masih
sering mengajar.”
 
Beliau sekarang tinggal di mana yaa? sudah lama tak
bertemu dengannya,” kata Gofa berbasa-basi, padahal ia tahu
benar rumah-rumah Pak Zakaria dan sesekali juga sempat ke
sana.

Tidak ada komentar: