Selasa, 13 Maret 2012

Apa yaa? Apakah hidup ini khan lebih baik dari mimpi bag 8

ketakan demikian. Inilah jawabannya, ini diambil kemarin lusa.
Kita lihat saja!”
 
Sebuah tanyangan pun ditampilkan. Nampak Pak Zakaria
yang mulai berkata-kata membacakan sebuah tulisan, begini
katanya, ‘Bismillahirrohmanirrohim. Assalamu’alaikum
Warohmatullohi Wabarokatuh. Atas Ridho Alloh yang Maha
Melihat, Maha Menyaksikan. Pada hari ini, Senin, tanggal 23
Januari 2006. Dengan tulus ikhlas, tanpa adanya paksaan
sedikit pun, dari siapa pun, dari pihak mana pun. Saya
menyatakan bahwa saya, Zakaria Zulkarnain, mewariskan,
memberikan seluruh kekayaan saya termasuk seluruh
perusahaan saya kepada seseorang yang bernama Luthfikri. Ia
adalah mahasiswa saya, yang juga salah satu peserta yang
hadir disebuah acara yang saya selenggarakan dan
merupakan salah seorang dari yang enam itu yang mungkin
ada didekat Anda-anda saat ini. Sekian dari wasiat saya.
Terima kasih. Terima kasih saya ucapkan untuk semuanya.
Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.’ 

Terlihat
Pak Zakaria membubuhkan tanda tangan pada selembar
kertas yang kemudian diserahkan pada kuasa hukum dan
saksi untuk ditanda tangani juga.
“Subhanallah.. apa ini benar?? Apa ini nyata?
Alhamdulillah, Yaa Allah..” kata Luthfi dalam hati. Ia pun
mendapat ucapan selamat dari orang-orang di dekatnya.
Pak Yusuf, selaku kuasa hukum Pak Zakaria. Ia bacakan
surat wasiat itu kembali dan memperlihatkan yang ada di
sana. Kemudian ia berkata, “Inilah surat wasiat itu dan ini sah.
Untuk Luthfi, silakan ke depan.” Pak Yusuf menyalaminya dan
ucap selamat padanya, “Selamat Luthfi, selamat..”
Pada hari setelah acara selesai, Luthfikri menuju kantor
Pak Yusuf bersama Pak Yusuf tentunya, sedang Vespa yang
dibawanya saat itu telah diambil temannya.
 
Di tengah perjalanan Luthfi berkata, “Pak, bisa berhenti
dulu di depan sana?”
“Ohh, boleh.. Ada apa?” tanya Pak Yusuf.
“Cuman mau potong rambut, udah nggak enak gini.”
“Mm.. gitu.. boleh.. boleh.. berhenti di mana?” tanya Pak
Yusuf lagi.
“Di depan.. dikit lagi tu.. ‘Pangkas Rambut Edun’ ... tu”
“Kenapa nggak di salon saja potong rambutnya, di dekat
kantor ada tuu, sekalian saja di sana.”
“Di sini aja, Pak. Sekalian silaturrahim sama teman saya.
Yang punyanya memang teman saya sih..”
“Ohh.. teman Anda..”
“Jadi, berhentinya di sini aja?” kata Pak sopir.
“Yap, Pak, berenti di sini,” ucap Luthfikri. 

Ia keluar dari mobil berwarna hitam itu, lalu berkata pada yang berada di
dalam, “Pak, mungkin saya agak lama, nanti saya menyusul
saja ke kantor bapak.”
“Kamu bisa nyetir?”
“kebetulan bisa, Pak. Namun belum begitu mahir.”
“Kalo gitu, saya ke kantor duluan. Ditunggu yaa..”
“Iya, Pak. Ei..yaa.. alamat kantor Bapak? Sampai lupa
saya.”
“Ini, Anda jangan naik taksi atau naik angkutan umum
dulu. Nanti ada mobil silver kok yang jemput ke sini, tungguin
saja masih di belakang dalam perjalanan,” ucap Pak Yusuf
sambil memberikan kartu namanya.
“Owh, iya Pak..”
“Begitu saja yaa, kami berangkat.”
“Iya Pak..” ucap Luthfi, lalu ia melangkah ke dalam
sebuah bangunan. Ia disambut oleh temannya itu.
“Heyy kawan, udah lama tak berkunjung,” ucap Hamdan,
pemilik tempat potong rambut itu.
“Iyaa nih, udah hampir dua bulanan ya agak ketemu..
Gimana kabarnya, Bang?”
“Baik.. Alhamdulillah.. kamu juga bagaimana? Adikmu
baik juga?”
“Yaa.. samalah kayak yang dibilang Abang tadi, baik
Alhamdulillah. Langsung sajalah, Bang.”
“Okelah.. Mau diapain nih modelnya, yang biasa?”
“Iyalah, seperti biasa..”

Tanpa banyak tanya lagi sang pencukur rambut itu mulai
memotong helai demi helai rambutnya yang hitam. Setelah 15
menit, akhirnya selesai juga.
“Makasih Boss.. Ini..” kata Luthfi memberikan semua
uang yang ada di dompetnya, sisa gajinya yang masih ada.
Tiga lembar uang seratus ribuan ia berikan.
“Lah.. kok, ini apaan? Gak ada kembalian,” ucap Hamdan
memberikan kembali uang itu.
“Terima saja, Kang. Alhamdulillah saya dapat rezeki
lebih.. Mari Kang, Assalamu’alaikum..” ucap Luthfi yang
kemudian pergi keluar.
“Wassalamu’alaikum.. ehh.. Wa’alaikumsalam..” ucap
Hamdan yang masih terdiam.
 
Saat keluar dari tempat itu, Luthfi disambut sebuah mobil
silver yang sedari tadi menungguinya.
“... Pak Luthfi?” tanya orang di dekat mobil itu.
“Iya.. saya sendiri..”
“Silakan masuk, Pak..” ucap Pak sopir lagi. Luthfi masuk
ke mobil itu yang kemudian melaju menuju kantor dimana Pak
Yusuf sedang menunggu dirinya.
Tibalah Luthfikri di kantor Pak Yusuf. Dengan diantar
seorang karyawati, ia langsung menemui Pak Yusuf di
ruangannya.
“Luthfi, silakan.. masuk saja.”
“Maaf, Pak. Nunggu lama yaa?” ucap Luthfi.
“Ah nggak apa-apa. Silakan duduk.”
 
Pembicaraan pun berlanjut ke hal yang lebih serius.
Tiba-tiba Nindya datang ke kantor Ayahnya itu.
“Ayah ada?” tanya Nindya pada salah seorang yang
berada di halaman kantor.
“Ada, ada.. baru saja tiba.”
“Makasih Mbak..” ucap Nindya langsung pergi menemui
ayahnya.
Tukk.. tuk.. tuk.. pintu di ketuk.
“Masuk..” ucap Pak Yusuf.
“... Ehh putri ayah..” ucapnya lagi.
Luthfi belum meliriknya, ia disibukkan dengan membacabaca
dokumen penting dihadapannya.
“Ada apa?!”
“Mmm.. nanti malem bisa makan malam bersama kan,
Yah?”
“Insya Allah bisa, emangnya ada apa, tumben nih?”
“Ada seseorang yang ingin dikenalkan ke Ayah.”
“Siapa??” tanya Pak Yusuf.
“Fikri itu, Yah.”
“Ohh, boleh.. nanti malam yaa?”
“Yap..”
 
Saat Nindya ucap nama Fikri, Luthfikri berhenti membaca
dokumen-dokumen itu, lalu ia menoleh ke belakang, ke arah
sumber suara itu.
“Hah.. Nindya..!!” ucap Luthfi.
“Mm.. kok.. Fikri, Kak Luthfikri..?! kok di sini?”
“Ohh.. jadi Fikri ini toh yang mau Dya kenalin ke ayah
itu?” ucap Pak Yusuf.
“Iyaa.. Kak Luthfikri. Ihh.. jadi maluu, ternyata orang
diomongin ada di hadapan. Nggak nyangka, habis beda sihh.
Hehee.. he..”
“Hmm.. ngapain malu..” ucap Pak Yusuf.
 
Lanjutlah obrolan mereka hingga panjang bayangan tiang
bendera yang berdiri di depan kantornya yang tersinari cahaya
sang surya menuju senja, bayangan itu setara dengan tinggi
tiang sebenarnya.
-¤¤¤-
 
Ketika restu telah Luthfi dan Nindya kantongi, seminggu
kemudian, mereka bertunangan. Beberapa bulan setelah itu,
saat Nindya selesaikan kuliahnya dapatkan gelar sarjana,
mereka pun akhirnya menikah.

Resepsi pernikahan mereka dihadiri teman-temannya,
teman Nindya juga Luthfikri. Hadirlah di sana, diantaranya
Mentari, Angga, Chyta dan Prima. Ketika Angga bersalaman
dengan Ayah Nindya, ia berkata, “Om, ternyata Om itu
seorang lawyer juga yaa?”
“Hmm.. Iya.. Do’ain saja Dek. Semoga menjadi seorang
lawyer yang Al-Hakim.” Bisik Om Yusuf.
“Tari.. Chyta..” sapa Nindya.
“Dya, bulan depan kami akan menyusul kamu,” ucap Tari
sambil menggaet tangan Anggara.
“Salamat yaa!”
“Baguslah..” ucap Chyta yang memang sudah menikah
dari dulu.
“Selamet yaa, Dya.” ucap Prima yang membawa
tunangannya.
“Ini siapa? Saudara kamu?” tanya Nindya pada Prima.
“Bukan. Ini Tunanganku,” jawab Prima.
“Kok nggak bilang-bilang siy?”
“Nikahnya kapan Niyy??” tanya Chita.
“Mungkin May,” kata Prima.
“Maybe yes maybe no. Maksud loe.” kata Angga.
“Beneran..” kata Prima meyakinkan.
 
Luthfi hanya tersenyum menyaksikan obrolan mereka.
Tak lupa hadir juga sahabat-sahabat Luthfi, mulai dari
teman kerjanya saat di toko buku, sang tukang cukur rambut,
sampai Geo dan Narto.
“Hey.. selamet menempuh hidup baru aja, Sob,” kata
Narto.
“Hmm.. nikah juga Loe akhirnya,” ucap Geo.
 
Di sana ada pula Sandy dan Fan yag menyanyikan lagu
menyambut para tamu, penambah kebahagiaan mereka.
Sesaat sebelum resepsi pernikahaan itu usai. Luthfi dan
Nindya bersanding bagai Prince dan Princes. Rasanya
kebahagiaan hanyalah milik mereka berdua saja. Luthfi kecup
kening Nindya dengan berjuta cinta. “Mm.. Maaf kukecup
keningmu untuk yang kedua kali [pertama setelah akad nikah,
Red], maafkan aku. Akankah kau berikan maaf itu pada diriku,
wahai istriku?” ucap Luthfikri dengan nada lembut.
“Hmm.. sayangnya saat ini aku tak bisa memaafkanmu,
wahai suamiku. Mengapa kau ucap maaf itu?? Kata maaf yang
tak seharusnya kau ucap karena mencintaiku,” kata Nindya,
“Mmm, begitukah?! Jadi, tiada maaf nih??” hhee, maafin
yaa.. ya.. yaaa..”
“Nggak ahh..”
“Please.. tuan putri.”
“Iya dehh aku maafin, ada da ajah ihh..” seraya mencubit
suaminya itu.
“Auww.. Idiihhh.. malah cubit-cubit lagi.. hmm.. aku
balas hayoow..!!”
-¤¤¤-
 
Empat tahun kemudian, mungkin jauh, mungkin juga
dekat, di jagat maya sana, di sebuah situs komunitas ‘KP Open
Source Project’ dipublikasikanlah sebuah software hasil dari
pengembangan ‘k0rupt0r Perish’ sebuah k0rupt0r cleaner itu.
software itu dirilis dengan nama baru yaitu ‘KPK’ [Kami
Pelindung Komputer]. Nama ini berdasarkan kesepakatan para
anggotanya, karena software ini bukan lagi hanya sekedar
k0rupt0r cleaner saja, namun juga tool-tool yang berguna
terkandung didalamnya. Disamping itu, penamaan software ini
dimaksudkan untuk mengingatkan sekaligus ikut mensupport
sebuah lembaga yang bergerak dalam pemberantasan korupsi
di negeri kita tercinta, Indonesia. Tau kan?! Pastinya taulah..!!
Di situs itu pula Luthfikri ucapkan terima kasih buat
semua orang atas partisipasinya. Juga tentu buat Haris
sebagai penggagas awal terciptanya software itu.
Luthfi terdiam menatap postingan-postingan di forumnya,
seraya ia tersenyum dan ikut nimbrung.

Jauh di balik layar monitor yang ditatapnya, ada seorang
remaja yang masuk dalam forum itu juga, menggunakan
Mozilla Firefox, browser favoritnya sebagai perambah alam
maya. Tak lupa remaja itu pun membuka situs jejaring sosial
yang kini digandrungi berjuta-juta pengguna, apalagi kalau
bukan, si Facebook dan Twitter. Ia lihat sana sini update-an
status kawan-kawan yang ada di friend list-nya, sejenak ikut
mengomentarinya sambil mendownload sebuah file ISO salah
satu Distro Linux yang memang dibutuhkannya untuk bahan
pembelajaran.
 
Setelah kelar mendownload, beberapa saat kemudian ia
pun logout dan keluar dari warnet Never Out, membetulkan
celananya yang agak melorot, sebelum pergi naik angkot.
Sempat-sempatnya ia update status dalam angkot lewat
BB [baca: bukan Bau Badan] yang lumayan erat ada dalam
genggamannya. ‘Tadi abis dari Never Out, sekarang lagi di
angkout.. :P Gue mau menuju Mosque.. :) Tungguin kawan,
bentar lagi gue nyempe, ntar gue beliin tape sama tempe..
biar nanti kite makan rame-rame.. hehehee.. :D’ begitulah
update-annya, lumayan menarik.
 
Kemudian ia masukkan BB itu ke saku bajunya, dan tibatiba
saja smart phone-nya itu berdering, terdengar nyaring
lantunan suara Adzan. Sontak saja penumpang lainnya pada
keheranan, “Lho, udah adzan lagi toh?!” ucap salah seorang
bapak-bapak penumpang angkot itu seraya melihat jam
tangan miliknya. “Lha, kan baru jam sebelas siang. Belum
waktunya kan? Masa udah Adzan Dzuhur??”
“Iyaa.. yaa..?! ngaco kali tuu ‘bebe’ Loe..” kata remaja
cantik yang berada di samping remaja itu, lalu berkata, “Ehh..
maaf.. maaf.. Jeng.. ini bukan Adzan biasa, ini nada dering
panggilan masuk saya,” kemudian menerima panggilan itu.
“...”
“Wassalamu’alaikum.. Iya nanti pas pukul satu lebihan
dikit, gue ke sana.. benerann.. iyaa.. yuuuw!!”
“..."

Beberapa saat kemudian setelah itu Adzan kembali
berkumandang dari BB-nya, kata remaja itu, “Naah ini baru
adzan yang sebenarnya tanda waktu dzuhur tiba.” Disambung
kumandang adzan dari mesjid.
Di dekat sebuah mesjid, angkot berhenti. Remaja tampan
itu turun diikuti seorang remaja cantik.
“Kamu di sini juga?” tanya remaja cowok itu.
“Iyya.. Mm.. Ini Pak..” ucap cewek itu hendak berikan
uang. “Udah dari aku aja sekalian.”
“Tapii..”
“Udah.. nggak apa-apa..”
“Makasih dehh..”
“Yap. ... Ini Pak,” kata remaja cowok itu meberikan
ongkosnya pada Pak sopir.
Sambil jalan, mereka ngobrol sebentar, biasa obrolan
anak remaja. Diawali tukaran nomor handphone sampe nanya
udah punya pacar ato belum segala. Sesampai di pintu
halaman mesjid, mereka pun berpisah, lalu remaja cowok itu
berjalan menuju samping mesjid, sejenak mengambil air
wudhu, bersiap untuk melaksanakan shalat fardu, shalat
dzuhur saat itu.
-¤¤-¤¤-
 
Selesai juga Aldy membaca cerita itu. Pada akhirnya, di
halaman terakhir ia temukan juga data mengenai Kak Rama
alias Kak Zik, yang sekaligus penulis cerita yang kini selesai
dibacanya. Namun sayang, tak ada nomor telephone atau pun
handphone, yang ada hanya alamat rumah dan e-mail saja.
Aldy langsung memberi tau kakaknya tentang hal
tersebut.
“Kak, ini Kak ada, ketemu.”
“Mana.. manaa..” Aisycha langsung mem-print alamat
teresebut.
“Kak salin kan juga donk cerita ini ke komputer kita,”
pinta Aldy.
“Cerita apaan? Yang semalam?”
“Iya, ini, bikinan kak Rama, seru deh.”
Lalu Aisycha menyalinkan file cerita tersebut. Walau
hatinya sedikit nggak enak menyalin dokumen orang tanpa
sepengetahuan pemiliknya.
 
Aisycha yang sudah siap pergi ke sekolah, ia juga
menyalin tugas yang telah diketiknya kemarin sore ke dalam
flashdisk miliknya. Namun sayang, komputernya kini
terjangkiti virus yang bersumber dari flashdis-nya.
“Yah Dek, komputernya kena virus, aduhh..!! Padahal
kemarin nggak kok, mmh bisa jadi..!!” Aisycha mengingatingat
bahwa flashdisk-nya sempat dipinjam oleh temannya,
dan ini pasti karena itulah yang menyebabkan komputernya
kini bersarang virus.
“FD punya kak Zik kena juga lagi, waduwhh,” Aisycha
tambah bingung mesti gimana.
“Yah kakak..!!”
“Adik, nanti berikan flashdisk kak Zik yah. Kakak
berangkat sekolah dulu, nanti kesiangan lagi. Kalau adik
nggak tau alamatnya, minta dianter sama ayah saja, yaa.”
“Iya, Kak.”
“Sekalian bilangin, maaf flashdisk-nya kena virus gitu
yah. Jangan lupa.”
“Iyaa,” jawab Aldy sambil mengangguk.
 
Kebetulan pagi itu ada teman sekolah Aldy yang datang
ke rumah, ngajakin main. Dan sekalian saja ia berikan
flashdisk itu dengan ditemani bersama temannya yang
memang tahu di mana alamat kak Rama itu, jadi tak usah
diantar ayahnya segala. Ayahnya pun mengizinkannya.
Kemudian pergilah mereka ke rumah kak Rama untuk
mengembalikan flashdisk tersebut.
Sesampai di depan rumah Rama, mereka bertemu
dengan Mang Dadang dan menanyakan maksud kedatangan
adik-adik itu. Selanjutnya Mang Dadang mempersilakan masuk
dan segera memberitahu Rama.
“Den Rama, ada tamu tuh,” kata Mang Dadang.
“Siapa, Mang?” Oh adik, udah sembuh kakinya?!”
“Udah kak.”
“Ada apa yah, Dik?”
“Mmm.. cuman mau ngembalikan flashdisk kakak yang
tertinggal kemarin.”
“Oh iya, pantesan kakak cari cari gak ketemu, ternyata
ketinggalan di rumah Aldy yaa.. Akhirnya ketemu juga,
Alhamdulillah,” Rama girang.
“Kak..”
“Yaa Dik, kenapa?”
“Mmm.. maaf kak flashdisk-nya sudah Aldy buka dan
baca-baca isinya, termasuk cerita bikinan Kak Rama.”
“Ini kak,” ucap Aldy memberikan flashdisk-nya dengan
menunduk takut dimarahin.
 
Rama memandang mereka dengan penuh senyum, tak
nampak dalam raut wajah Rama maupun terlintas dalam
pikirnya untuk menegur apalagi memarahinya ketika ia
menyaksikan sebuah kejujuran, kepolosan pada face seorang
anak. Seraya berkata, “Baca cerita kakak yang judulnya itu ...
apa yaa?! Belum diberi judul deh kayaknya. Adik udah
menyalinnya?”
“Udah Kak, maaf,” lagi-lagi Aldy minta maaf.
“Nggak apa pa, Adik menjadi orang pertama yang
membacanya. Ini siapa teman adik?” Rama menanyakan yang
di sebelah Aldy yang diam saja dari tadi menyaksikan
pembicaraan Rama dan Aldy.
“Iyah.. namanya Ronee.”
“Dik Ronee udaah baca cerita kakak juga?”
“Belum, gak tau.”
“Di rumah ada komputer?”
“Ada punya ayah,” jawab Ronee.
“Adik mau, Kakak salinkan yaa buat adik.”
“... Boleh, Kak.”

Tidak ada komentar: