Selasa, 13 Maret 2012

Apa yaa? Apakah hidup ini khan lebih baik dari mimpi bag 5

“Iyaa Bunda,” ucap Nindya setelah ia ceritakan apa yang
terjadi pada kakaknya.
“...”
“Hmm.. Bu,” kata Pak Satpam.
“Ada apa, Pak?” tanya Bunda Tiara.
“Ada tamu, yang nyariin Non Nindya,” jawab Pak Satpam.
Nindya berdiri dan menghampiri Pak Satpam, lalu
bertanya, “Siapa yaa??”
“Namanya, kalo nggak salah.. mm.. Luthfi..”
“Luthfi, Pak?”
“Iya namanya Luthfi. Ia lagi nungguin tu di depan,” kata
Pak Satpam.
Nindya langsung keluar menemui orang yang duduk
diteras itu. Pak Satpam mengikutinya di belakang.
“Kamu? Kamu kan, Fikri? Yang di toko buku itu kan??”
tanya Nindya yang samar pernah mengenalnya.
“Iyaa, Fikri yang di toko buku itu, tepatnya Luthfikri. Maaf
nggak sempat cerita soal itu,” jawab Luthfi menatapi wajah
Nindya yang memerah karena menangis.
“Ada apa dengan kakakku?! Ada apaa??!” Mohon
ceritakan, gimana kejadiannya?” tanya Nindya tak sabar ingin
mengetahuinya dengan pasti.
Luthfi menarik nafas sangatlah dalam dan panjang pula,
seakan oksigen yang ada di halaman terhirup semua olehnya.
Setelah agak tenangan, mulailah bercerita perihal kakaknya.
“Hmmh.. Begini, Dya,” begitu kata Luthfi mengawalinya.
“...”
Lumayan banyak kata-kata yang terucap dari lisan Luthfi,
menceritakan dengan detil yang jelas tiap kejadian yang
dilihatnya waktu itu. Sedang Nindya tak sedikit pun kata
meluncur dari bibirnya, ia menyimak, dan hanya menyimak
ucapan Luthfi.
Setelah Luthfi ceritakan semuanya, barulah Nindya
angkat bicara, “Kak..!” ucapnya singkat. Ia meminta Luthfi
untuk segera mengantarnya, “Kak Luthfi, bisa antar aku kan,
ke pemakaman kakakku?” tambahnya.

“Boleh, tapi aku nggakbawa kendaraan nih,” kata Luthfi.
“Pake, motorku aja tuh..!” kata Nindya menunjuk motor
yang terparkir berjarak tak jauh dari tempat mereka berdua
duduk. “Sebentar, pamit dulu sama bunda,” lanjutnya.
“Yaa..” ucap Lutfhi menganggukkan kepala.
Tak lama, Nindya keluar dan mereka pun berangkat.
“Tante, kami berangkat dulu,” kata Luthfi pada Bunda
Tiara yang menghampiri mereka.
“Daa.. Bunda!”
“Hati-hati yaa..!”
Sepeda motor itu pun melaju dan beberapa meter lagi
bakalan menyentuh jalan raya.
“Mari Pak..!” ucap Luthfi pada Pak Satpam saat di depan
pintu gerbang.
“Kak, ke florist dulu yaa..” pinta Nindya.
“Okeyz.. siap..”
Sampailah mereka di tempat yang penuh keharuman.
Disana Nindya membeli beberapa jenis bunga.
“Mmmh, haus nih. Dya, aku cari air mineral dulu ya,
sebentar kok,” kata Luthfi. Ia beli 2 botol air mineral, satu
untuknya, satu untuk Nindya.
Setiba di pemakaman, mereka taburkan bunga di pusara
Haris juga di kedua orang tua Nindya. Air mineral yang tak
Nindya minum juga yang tak dihabiskan Luthfi, disiramkanlah
oleh mereka. Lalu mereka membacakan beberapa ayat suci
Al-Qur’an sejenak.
 
Tak ada lagi tangisan Nindya, hanya beberapa tetes air
mata yang terjatuh dari kedua mata. Air matanya sudah
terkuras habis saat pertama kali mendengar berita kakaknya.
“Kakak lucuku..” lirih Nindya kehabisan kata.
Seusai dari pemakaman, pergilah mereka menuju kosan
Haris. Luthfi menyerahkan beberapa barang-barang milik
Haris. “Dya, inilah kosan Haris, tempat ia berteduh melepas
lelah,” kata Luthfi.
 
“Ini barang-barang kakak kamu semuanya. Kuserahkan
padamu, dan ini kunci kosannya,” ucap Luthfi lagi.
“... Dan, ini..” Luthfi mengambil dompet Haris dan
mengambil kartu ATMnya, “Kamu harus menyimpannya,”
lanjutnya sambil menyerahkan dompet juga kartu ATM pada
Nindya.
“Ouwh, kartu ATM pemberian papaku. ...Inilah salah satu
kenangan yang berharga bersama kakakku,” ucap Nindya
sambil mengecup kartu ATM itu. “Kakak lucuku.. mm..” Nindya
pun tersenyum.
“... Kak, mohon, Kak Luthfi saja yang pegang semuanya
ini,” kata Nindya.
“Tappi, tapi Dya.”
“Kak Luthfi saja, Dya percayakan sama Kak Luthfi. Pasti
kakak membutuhkannya.”
“Untuk ini ...” Luthfi memberikan kartu ATM padanya,
“Aku tak kan bisa menyimpannya, terlalu berharga. Lebih baik
kamu sendiri yang menyimpannya. Semoga ini akan selalu
mengingatkanmu pada kakakmu. Aku senang ketika kulihat
kamu kembali tersenyum nampak ceria,” katanya lagi. Nindya
pun tersenyum simpul.
Tak disengaja, ada sebuah kertas terjatuh dari dompet
Haris yang sedari tadi dipegang Luthfi. “Apa ini..??” tanya hati
Luthfi, “Apa yaa?!” sedikit heran.
“Apa, Kak??” Nindya pun bertanya.
“Ini..” Luthfi berikan secarik kertas yang terjatuh itu.
“Apa ini, Kak?”
“Mm, nggak tau tuh.”
“Hmm.. penuh dengan teka-teki,” ucap Nindya sedikit
mengerutkan dahi.
Luthfi menerima kertas itu lagi, “Ini tu, apa yaa?!”
ucapnya.
Nindya melihat lihat ke sekeliling dinding kamar kosan
itu. Jarinya menunjuk sebuah lukisan yang pernah dibuatnya
sebagai hadiah ulang tahun kakaknya dulu.
“Itu, lukisan itu. Ternyata masih disimpannya.” Air mata
bahagia berbaur sedih pun jatuh membasahi pipinya.
“Kenapa, Dya??”
“Tak apa-apa.”
Lalu dengan segera Luthfi mengambilkan lukisan itu dan
menyerahkannya pada Nindya yang kembali tersenyum.
“Lukisan ini aku bawa ya, Kak?”
“Yaa, silakan!”
Nindya melihat jarum jam di tangannya. “...Pulang yuk,
Kak! Takut keburu ujan,” ajaknya.
“Yuukk...!! ... Ehh, kamu pulang duluan saja, mau beresberes
dulu.”
“Mm, Iyaa deh kalo gitu. Nindya pulang dulu ya, Kak.”
“Hati-hati yaa,” ucap Luthfi dengan lembut.
“...Daah, Kak.. Wassalamu’alaikum..”
“Wa’alaikum..salam..” jawab Luthfi di depan pintu itu. Ia
masih memandanginya beberapa saat.
Luthfi berbalik lantas berkata, “Mmm, kasian juga Nindya,
pulang sendirian, mana lumayan jauh lagi. Hmm.. Ahh
mending gue anterin Nindya dulu, beres-beres tu gampang!”
Luthfi keluar dari kosan dan berlari ke arah Nindya pergi.
Ia kejar motor itu yang mulai berbelok ke sebelah selatan.
“Dya, Dyaa!” Luhfi memanggilnya cukup kencang. Laju
motor pun terhenti.
“Dya, biar aku anterin kamu dulu.”
“Nggak apa pa, Kak. Udah gak apa apa..”
“Biar aku yang bawa, kan lumayan jauh tuh.”
“Yaa boleh deh. Anterin sampe pintu rumah ya Kakak
tukang ojek!” ucap Nindya sedikit cengengesan.
“Hiii, tukang ojek?? Tak apa lah. Let’s go!”
Dalam perjalanan, butiran-butiran halus jutaan titik-titik
air mulai terjun dari sarangnya.
“Yaaa udah ujan, Kak.”
“Tenang, masih rintik-rintik kok, nggak menggigit ini.”
“Heumm.. eaa seeh..! nggak gigit. Tapi bikin sakit.”
 
“Yaa mudah-mudahan nggak lah..”
“...”
“Akhirnya sampai juga. Jangan lupa sampe pintu rumah.”
“Iyaa, iya.. tenang aja.”
“...”
“..Ehh iya, Kakak pulangnya?”
“Pulangnya?? Nanti juga ada yang jemput.”
“Siapa?”
“Bis Kota, hehee. Salam buat om dan tante aja.”
“Nggak mampir dulu?”
“Nggak ah, kapan-kapan saja, buru-buru nih, takut ujan
menggigit. Yuk, Dya. Assalamu’alaikum.”
“Yee.. Wa’alaikumsalam.”
Beberapa meter dari rumah Nindya, Lauthfi pun pulang
naik bis kota yang penuh sesak dengan oleh penumpang. Di
perjalanan, hujan turun dengan derasnyanya. “Alhamdulillah,
untung gue udah di dalem bis,” katanya dalam hati.
Selepas pintu bis terbuka, dengan segera ia lari menuju
kosan Haris. Hujan mengguyur sekujur tubuhnya.
“Dinginnnyaa..!” ucapnya sesampai di kosan Haris. Tak lama
dari itu, ada SMS masuk ke handphone miliknya.
Kak, digigit ujan yaa?
^^
maaf yaa, kak..
Ternyata SMS itu dari Nindya.
Hihii, iyaa kena gigit niy.
Gak pa apa kok :)
Setelah tubuhnya agak kering, kemudian Luthfi nyalakan
laptop itu, mencoba membuka-buka folder. Niatnya hanya
untuk mencari file projectnya bersama komunitas KP Open
Source Project. Namun, dengan tak sengaja ia buka sebuah
file, yang ternyata isinya adalah surat Haris untuk Pak Zakaria.
Kedua bola matanya melihat tajam kata-kata di surat itu, “Pak
Zakaria? Program..? Hmm..??” ucapnya.
Luthfi kembali menelsuri file-file yang ada. Ia temukan
sebuah software di sana, yang belum ia ketahui apa. Ia
jalankan software itu. “Need a password..??” katanya. Luthfi
teringat dengan kertas yang tadi siang terjatuh dari dompet
milik Haris. Kemudian ia mengambil kembali kertas itu dan
sedikit menelitinya. “Mungkinkah ini??” pikirnya. Lalu ia
masukkan kata yang ada, “Yah, salah.. Waduwh, softwarenya
menghancurkan diri. Ngilang ke mana ini??” Ia amati benarbenar
kertas yang di pegangnya sekian lama untuk sekedar
memahaminya.
-¤¤¤-
 
Suatu saat jauh di alam bawah sadarnya. Kening Nindya
dikecup dengan manisnya oleh seorang pria yang tadi siang
menemaninya.
Handphonenya berdering, Nindya lantas mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum.. Dya.”
“Wa’alaikum salam..”
“Dya..”
“Yaa..”
“Sebenarnya. Aku hanya ingin bilang sesuatu, maafkan
aku mengecup keningmu, seharusnya aku tak begitu. Akankah
kamu berikan maaf itu?!”
“Insya Allah, aku maafkan dan semoga Allah juga kan
memaafkan.”
 
Nindya buru-buru bangun, Handphonenya berdering
kencang, kini bukan lagi dalam mimpi, alam bawah sadarnya.
Ia mencari-cari handphonenya. “Ehh, iyahh.. Tari ulang
tahunn..!” ternyata itu reminder ulang tahun sahabatnya,
sengaja ia set pukul 00.00. Nindya langsung menelphone
Mentari, sekedar untuk ucapkan selamat ulang tahun tepat di
malam hari.
 
“Haloo..” kata Mentari.
“Tarii.. sahabatku tercintaa.. met milad yaa.. selamat
ultah aja.. all the best lah pokoknya..” kata Nindya.
“Makasiih, Dya. Sahabatku yang pertama kali ucapin
selamat padaku.”
“..Ntar siang traktir yaa..”
“Beress.. ditraktirin deh semuanya.. hehee.. Hmm.. Dya,
mataku ingin tertidur lagi nih.. masiy ngantukk.. tuk..tukkk..
nanti sambung lagi besok, selepas ayam berkokok. yaa Dya..”
“Yaah, nggak seruw niy.. hehee.. yaaudah deh, met tidur
lagii.. nice dream aja kalo gitu..”
 
“Nice dream too..” kata Mentari menutup ponselnya,
begitu pula dengan Nindya.
Nindya mengingat-ingat mimpinya tadi, ia terdiam sesaat,
heran dengan mimpinya. “...mm.. Kak Luthfiku? Ada apa yaa?!
Hemmh.. Tidur lagi ahh..” ucapnya, tersenyum. Lalu ia ambil
selimutnya, mencoba tuk pejamkan mata berharap dapat
melanjutkan lagi mimpinya.
-¤¤¤-
 
Pagi hari yang terlihat mendung mulai berangsur cerah
menemani langkah-langkah bagi yang tak ingin menyerah.
Luthfikri bersiap tuk hadiri undangan acara seperti yang
diharapkan sahabatnya, agar Haris tak kecewa.
Luthfi menelepon Geo, untuk mengantarkannya ke
tempat acara itu. Geo datang dan mengantar hingga
sampailah mereka di sana.
“Fi, gue gak bisa nemenin Loe lama-lama. Gue ada
kerjaan soalnya. Gue berangkat dulu ya. Semoga sukses, Bro,”
ucap Geo.
“Thanks, Bro! Sukses juga buat Loe. Hati-hati uyy!”
“Yoi..”
 
Geo pun menghidupkan motornya lalu pergi menuju
kantor tempatnya bekerja.
Luthfi berjalan hendak memasuki sebuah gedung. Ia
bertemu dengan seorang Panitia yang meminta kartu
undangan padanya.
“Undangannya?!” pinta Panitia itu.
“Ohh.. yang ini, Pak?” kata Luthfi. “Untung saja gue
bawa ni undangan,” lanjut hatinya.
“Saya di sini untuk menggantikan sahabat saya, Haris.”
Sambungnya.
“Jadi Anda??”
“Saya Luthfi, penggantinya.”
“Sahabat Anda? Ada apa memangnya dengan Haris?
Kenapa nggak bisa hadir?”
“... Ia telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, Pak.”
“Innalillahi wainna ilaihi raji’un.. Benarkah? Meninggal?!”
tanya Panitia itu seakan tak percaya.
“... Dia tertabrak, Pak.” Luthfikri mengangguk.
“Ehh.. iya.. Apa Pak Zakaria-nya ada?”
“Beliau sedang di rumah sakit.”
“Ouwh.. mmm.. saya ketitipan surat dari Haris sebelum ia
meninggal. Surat buat Pak Zakaria. Ini, mohon disampein.”
“Mmm.. boleh.. Insya Allah nanti disampaikan,” kata
Panitia itu.
 
Lewatlah di hadapan mereka seorang Panitia lagi.
“Hey, Nu. Mau ke mana?” tanya Panitia yang sedang
mengobrol dengan Luthfi.
“Mau ke rumah sakit dulu..” jawab Panitia yang satu lagi.
“Mau apa?”
“Nggak tau tu, disuruh Pak Zakaria.”
“Ehh.. sini, sekalian sampein ini surat buat Pak Zakaria.
Jangan lupa, jangan sampai ilang, penting..”
“Okey bozz, beressslah.. yuuukk!!” ucapnya lalu pergi.
Luthfi menjabat tangan Panitia di hadapannya itu seraya
berkata, “Terima kasih, Pak!”
 
“Sama-sama.. Ehh, acaranya akan segera dimulai tuh,
silakan Anda masuk saja..” ucap Panitia itu mengingatkan.
“Oh iya, kalo gitu, saya gabung dulu dengan yang lain.
Mari, Pak,” kata Luthfi.
Luthfi melihat ke semua orang yang berada di sana.
Pandangan matanya berhenti saat melihat ke arah Gofa,
“Ternyata ternyata orang itu hadir juga,” ucapya dalam hati.
Acara dimulai dengan sambutan yang sengaa dibacakan
oleh Pak Yusuf sebagai pengganti dari Pak Zakaria yang tak
memungkinkan untuk memberikan sebuah sambutan.
“...”
“Kepada ke 20 peserta, saya ucapkan selamat berlomba
saja. Sekian terima kasih.. wassalamu’alaikum..” begitulah Pak
Yusuf mengakhiri sambutannya.
Sayangnya Pak Yusuf tak bisa mengikuti acaranya hingga
selesai. Ia harus pergi dulu ke kantornya.
Ini adalah puncak acaranya dimana dipanggillah ke 20
peserta termasuk Luthfi juga Gofa untuk dihadapkan dengan
masing-masing sebuah komputer dan sebuah program
[software] yang dibuat khusus oleh Pak Zakaria sendiri.
“...”
“Kami persilakan untuk memecahkannya,” ucap Panitia.
Seorang panita berbicara melanjutkan ucapan temannya,
“... Dan saya, kami, semua Panitia di sini, tidak dan belum
diberitahukan sedikit pun kata kuncinya itu apa. Seperti yang
dikatakan Pak Zakaria clue-nya itu adalah salah satu kunci
kehidupan. Mungkin beberapa menit lagi kami baru diberi tau
oleh Pak Zakaria selaku pembuatnya. Yaa.. sekarang silakan
saja Anda-anda ini pikirkan.”
“Kunci kehidupan??” tanya mereka.
Mata para peserta terfokusan pada apa yang di hadapan,
sebuah program yang entah apa maksudnya.
“Hmm, program yang ini itu kah?!” tanya Luthfi pada
batinnya. “Kunci kehidupan?” ucapnya. “Apa yaa?!” tanya
hatinya lagi. Ia pejamkan mata untuk sekedar mengingatingat
apa yang harus ia ketikkan tepatnya? pada sebuah kotak
kecil melebar yang terdapat di tubuh progam yang masih
nampak kosong tiada isi.
 
“Hmm.. Bismillah.. semoga ini berhasil..” Dengan hatihati
dan penuh keyakinan ia ketikkan character demi character
password tersebut seperti instruksi yang dilihatnya, yang
dibacanya semalam, sebuah tulisan yang terdapat dalam
secarik kertas itu.
Luthfi mendengar ucapan peserta lain yang kebingungan,
“Passwordnya apa?!! Aduhh..!!”
“Apa yahh?! Yaagh gue payaghh.. ghh ghhh..!!”
Sayup terdengar ada seorang peserta yang bertanya
pada peserta di kiri kanannya itu, “Apa sih?!”
“Yaa gue juga gak tau.”
“Apa yaa?!” ucap yang lainnya lagi, malah bertanya pada
dirinya sendiri sambil menggaruk-garuk kepala.
“Waah.. Aplikasinya menghancurkan diri sendiri..!!
Gimana nihh??!”
“Kalo programnya menghancurkan diri, silakan copy-kan
dulu programnya yang ada di folder back-up, lalu jalankan
kembali sampai benar-benar tepat terbuka. Kalau salah lagi,
dan musnah dengan sendirinya lagi, yaa tinggal copas [copypaste]
saja lagi, jalankan lagi, lagi, seterusnya,” tutur Panitia.
Begitulah expresi sebagian peserta. Namun, tidak
demikian dengan Gofa, ia terlihat santai, tenang, tak seperti
yang lainnya.
 
Apa yang mereka lakukan di hadapan komputer, terlihat
jelas ditampilkan di layar yang cukup lebar, disaksikan juga
oleh banyak orang. Jadi, tak heran face-face ‘lucu’ mereka
kadang membuat hadirin tersenyum bahkan tertawa.
Tidak lebih dari 30 menit, akhirnya sesion itu pun selesai
juga. Acara dilanjutkan dengan sambutan dan penampilan
Band juga penyanyi lainnya, sambil menunggu hasilnya yang
kan diumumkan Panitia hari itu juga.

Tidak ada komentar: