Selasa, 13 Maret 2012

Apa yaa? Apakah hidup ini khan lebih baik dari mimpi bag 4

 “Sebentar-sebentar, bapak kasih alamatnya saja..” Pak
Yusuf mengambil kartu nama Pak Zakaria dari dompetnya dan
ia tuliskan di bagian belakangnya sebuah alamat rumah yang
sekarang di tempati Pak Zakaria, “Alamat rumahnya yang ini
saja. Beliau pasti ada di sana,” tambahnya.
“Ooh, terima kasih Pak.”
“Sama-sama..”
“Di tinggal dulu, Pak..”
“Kami pulang duluan, Pak..” ucap Lany.
“Yaa, Yaa silahkan..”
Sehari kemudian, di waktu matahari memancar panas,
namun sesekali mendung. Gofa hendak berkunjung ke rumah
Pak Zakaria untuk memastikan bahwa Pak Zakaria memang
sedang membuat sebuah software dan software apa yang
dibuatnya, mungkin ia bisa segera mengetahuinya.
Gofa bersiap-siap, mengambil beberapa barang yang ia
butuhkan. Pergilah ia. Setelah beberapa puluh menit, sampai
juga. Kebetulan Pak Zakaria ada di rumah itu, dipersilahkan
masuklah Gofa. Gofa melihat sebuah komputer yang masih
menyala di ruang sebelah tak bersekat, terlihat samar-samar
sederet kode di layar monitornya. “Kayaknya benar nih lagi
membikin software,” kata Gofa dalam hati.
Setelah mempersilahkan Gofa, Pak Zakaria lalu beranjak
ke depan komputer seraya menutup program-program yang
masih aktif, namun ia tak lantas mematikan komputer itu.
“Sebentar yaa, bapak bikinin air dulu, silakan duduk.”
“... Pak, saya numpang ke air dulu.”
“Hee.. bapak bikinin air, kamu malah numpang ke air,
hehee. Silakan, udah tahu kan, nggak perlu di tunjukkan lagi?”
“Hhee.. Iyaa, Pak. Makasih..”
 
Gofa pun beraksi, ia buka jaketnya, ia dekati komputer
yang selalu dipakai Pak Zakaria, lalu menancapkan ke port
PS/2 keyboard sebuah keylogger [berjenis hardware]. “Moga
aja nggak ketahuan...” ujarnya dalam hati. Setelah itu, Gofa
ke kamar mandi, ia gantungkan jaketnya, lalu membasuh
muka juga tangannya. Sehabis itu, ia kembali ke ruang tamu.
“Bagaimana kabarnya, Pak?” tanya Gofa.
“Alhamdulillah..”
“Gof, kamu ini udah nikah?” tanya Pak Zakaria.
“Yaa belumlah, Pak. Nanti kalau tunangan saya itu sudah
kelar kuliahnya, naahh baruu...”
“Gimana kerjanya, lancar?”
“Lancar, Pak. Seperti biasa, terkadang pusing juga sih.”
“Biasaalah itu. Soal pusing, semua orang juga pada
ngalamin, apa lagi zaman udah kayak gini,” ucap Pak Zakaria.
“Ada apa nih, tumben-tumbenan berkunjung ke mari,”
sambungnya.
“Heehe, habis dari teman, Pak. Sekalian saja ke sini,
sudah lama nggak silaturrahim,” jawab Gofa.
 
Sambil mengobrol, Pak Zakaria lalu menyalakan televisi,
untuk sekedar menambah bahan obrolan. Nggak seru
kayaknya kalo obrolan nggak dibumbui berita terbaru. Berita
politik dan hukum juga sosial masyarakat menjadi bahan
obrolan mereka, hingga Gofa pamit pulang untuk mengantar
kekasih hatinya yang hendak pergi kuliah.
“...”
“Aduh, Pak. Kayaknya obrolan kita nggak bisa di lanjutin
lama nih. Saya ada jadwal, jam segini, mengantar Lany,
tunangan saya itu kuliah lagi. Pamit dulu, Pak.”
“Waahhh.. punya jadwal rutiin nih, hehee..”
“Mm.. begitulah, Pak. Kalo gak dianterin atau nggak
dijemput, suka bawel.”
“Yaa, wajarlah.. takut kehilangan tuh..” kata Pak Zakaria
mengikuti hingga ke teras.
 
Gofa pun pulang meninggalkan rumah Pak Zakaria.
Setelah Gofa tak lagi terlihat, Pak Zakaria pun masuk ke
dalam rumah. Ia membuka sejenak pekerjaanya yang tadi
sempat tertunda di komputer yang masih menyala, “... Dzuhur
dulu ahh,” ucapnya, lalu menuju ke kamar mandi untuk
berwudhu, karena kumandang adzan telah terdengar dari tadi,
saat ia mengobrol bersama Gofa. “Hmm, jeket siapa ini? ...
jaket Gofa, tertinggal ini..”
-¤¤¤-
 
Beberapa hari kemudian setelah Gofa bertemu dengan
Pak Zakaria di rumahnya. Gofa kembali untuk mengambil
jaketnya yang sengaja ia tinggalkan.
Saat Gofa datang, Gofa langsung ditembak dengan
pertanyaan, “Kamu mau ngambil jaket?” tanya Pak Zakaria
tanpa berbasa-basi.
“Iyaa Pak, tertinggal..” jawab Gofa.
“Ambil saja di ruang sebelah dekat ruang komputer.”
Tanpa duduk dulu, Gofa langsung saja menuju ruangan
itu. Tiba-tiba ia bertemu dengan Haris yang selesai ngeprint
beberapa lembar dokumen.
“Ehh.. Loe..!!”
“Loe..!!”
“Ngapain Loe ke sini?!” tanya Gofa sinis.
“Gue ngunjungi Dosen gue.. nah Loe??”
“Gue mau ngambil jaket gue yang ketinggalan lah..”
Haris tak menyangka bakalan ketemu lagi dengan Gofa,
orang yang dulu mencuri karyanya.
“..Apaan tuh?!” tanya Gofa, menunjuk beberapa lembar
kertas yang dipegang Haris.
“Mau tau aja Loe..! Rahasia lah..!” jawab Haris.
“..Owh...” kata Gofa singkat yang kemudian melangkah
ke ruang sebelah dan Haris pun pergi meninggalkannya.
 
Gofa mengambil jaketnya yang tergantung di samping
pakaian ala militer yang sering dipakai Pak Zakaria dulu. Lalu
ia membelokkan arah kakinya ke ruang sebelah seraya
mengambil keylogger yang sengaja ia pasang beberapa hari
yang lalu.
“Makasih yaa, Pak. Eh, Maaf Pak, tintanya hampir habis,”
ucap Haris setelah kembali ke ruang depan menemui Pak
Zakaria.
“Iyaa, tak apa. Belum sempet diisi ulang soalnya,” jawab
Pak Zakaria.
 
Haris duduk berhadapan dengan Pak Zakaria, Gofa
menghampiri lalu berkata, “Terima kasih Pak, udah nyimpen
jaket saya. Kalo begitu, saya langsung pamit saja.”
“.. Nggak minum dulu..” ucap Pak Zakaria pada Gofa.
“Nggak Pak, makasih,” kata Gofa yang terus menuju
pintu depan rumah.
Setelah Gofa benar-benar pergi, Haris mulai melanjutkan
bicaranya, “Pak, bapak pasang keylogger yah?!”
“Hmm.. nggak kok, ehh iya, pasang.. kok tau?” ucap Pak
Zakaria mengiyakan, karena memang ia menginstal sebuah
software keylogger di komputernya itu.
“Yaa kelihatan saja, Pak,” ungkap Haris.
“Hmm.. ketahuan nih..”
 
Namun keylogger yang mereka sangkakan bukanlah
keylogger yang sama, yang disangka Pak Zakaria adalah
keylogger dalam bentuk software yang sengaja dipasangnya,
sedang yang disangka Haris adalah keylogger berbentuk
hardware yang mungkin dipasang Pak Zakaria. Padahal Pak
Zakaria belum tahu bahwa di komputernya ada yang
memasang keylogger [hardware], Haris pun tak pernah tahu
bahwa Pak Zakaria memasang keylogger [software].
“Mmm.. saya juga pamit pulang, Pak. Ada janji soalnya,”
ucap Haris pamit.
 
Setelah kedua bocah itu pergi dari rumahnya. Pak Zakaria
menuju ke belakang dengan rasa heran. “Kelihatan?! Masa
sih! Ahh, nggak perlu di pikirkan.”
-¤¤¤-
 
Persiapan sebuah acara yang Pak Zakaria rencanakan
telah hampir final. Tiga hari sebelumnya, undangan segera
disebarkan kepada 20 peserta istimewa yang telah dipilihnya,
yang kesemuanya merupakan anggota dari situs komunitas
yang dibangunnya.
Seusai Jum’atan, undangan istimewa itu diterima Haris.
“Undangan apa yaa?” tanya Haris pada pengantar surat.
“Dibaca sajalah.. mohon kehadirannya, jika kamu tak
ingin kecewa,” kata pengantar surat.
“Iyaa, Insya Allah.”
 
Haris menutup pintu kosannya. Lalu dibacalah undangan
tersebut. “Waah.. kayaknya acaranya bakalan seru nih,”
ucapnya. Lalu Haris menyimpan undangan itu ke kantung
belakang celananya setelah kelar dibacanya. Namun ada
perkataan dari pengantar surat tadi yang membuatnya
bertanya-tanya, ‘Mohon kehadirannya, jika kamu tak ingin
kecewa’. Haris merasa ada sesuatu yang disembunyikan, “Kan
undangannya juga cuman berkumpul, silaturrahim antar
komunitas yang dibangun Pak Zakaria. Mengapa ia berkata
demikian, maksudnya apa yaa?!” Tanpa pikir terlalu jauh, lalu
ia menghubungi Panitia acara lewat ponsel miliknya.
“...”
“.. Mbak, acara sesungguhnya apaan sih? Bikin
penasaran saja,” kata Haris pada Panitia yang menerima
telephonenya.
“Pokoknya, Anda datang saja. Maaf, kami tidak
diperkenankan untuk memberitahukannya sekarang. Mohon
hadir saja, jika Anda tidak ingin kecewa,” begitu tanggapan
panita, seperti mengutip kembali perkataan yang diucapkan
pengirim surat.
“Mmm.. seandainya kehadiran saya digantikan oleh orang
lain, apakah boleh??”
“Undangan yang Anda terima berupa undangan lewat
e-mail atau berupa surat biasa?” Panitia itu malah balik tanya.
“Yang saya dapatkan, undangan lewat selembar surat.
Kalo lewat e-mail, kayaknya tak pernah ada tuh,” jawab Haris.
 
Hmm.. sebentar.. mohon tunggu.. ... ... terima kasih
telah menunggu. Begini, bila kehadiran Anda digantikan orang
lain sih boleh-boleh saja, itu hak anda. Tapi, jangan kecewa
nantinya yah, jika kehadiran Anda ini digantikan. Dan
seandainya demikian, mohon memberikan undangan tersebut
pada orang yang menggantikan Anda, jangan lupa dibawa
nantinya, saat menghadiri acara. Begitu kira-kira.”
“Oh, begitu yaa.”
“... Ada yang ingin ditanyakan lagi?”
“Cukup itu saja, terima kasih.”
“...”
Haris menutup handphonenya, “Apa yaa?!” pikirnya lagi.
Kemudian ia membaca lagi surat itu, matanya tertuju pada
sebuah nama yang ada di sana, Zakaria. Ia jadi teringat
kembali dengan apa yang dilakukannya saat datang
berkunjung ke rumah Pak Zakaria, sebuah kesalahan pernah
dilakukannya.
 
Ia genggam erat ballpoint, untuk menuliskan sebuah
konsep surat untuk Pak Zakaria. Lalu mengetikkan di
komputernya dan mencetaknya, ia masukkan kedalam amplop
kosong, kemudian ia selipkan surat itu beserta undangannya
di kantung belakang celana jeansnya. Setelah itu, Haris pun
pergi menuju rumah Luthfikri untuk membahas software,
project open sourcenya itu. Namun di tengah perjalanan, saat
ia menyebrang jalan, tiba-tiba sebuah mobil menabraknya tak
sengaja karena remnya blong, sehingga kehilangan kendali.
Luthfi yang pada waktu itu hendak pergi ke toko buku
tempatnya bekerja. Luthfi buru-buru melihat keluar dan
menghampiri kerumunan orang.
Samar-samar terdengar oleh Luthfikri ucapan orangorang
yang ada di sana.
“... Bawa... cepetan bawa ke pinggir.”
“.. Hubungi rumah sakit..!”
“Cepat.. cepat panggil ambulan!!”
“Astaghfirullah.. Ya Allah.. ada yang kecelakaan..!!”
Luthfikri menyelinap, “Permisi.. permisi..” ucapnya ingin
melihatnya dengan lebih jelas.
“Yaa Allah.. Haris..!!” katanya lagi langsung merangkul
Haris, “Kenapa Loe?? Kok bisa gini?”
“Luthfi..”
“Yaa, Ris..”
“Mghhh... Fi, tolong cariin adik gue, adik kandung gue,
temui dia, mohon jaga dia, sayangi dia.. mmmhh.. mungkin
gue.. agghhh.. takkan bisa lagi menjaganya..” ucap Haris
sambil menahan rasa sakit yang teramat sangat. Lalu
memberikan sepucuk surat dan juga sebuah undangan, “..Dan
ini.. Fi, berikan surat ini.. pada Pak Zakaria, dosen kita dulu..
juga.. mohon hadirilah undangan acara ini.. hadirilah..
penting..”
 
“Jangan bekata gitu, Ris.. Insya Allah, gue janji..” ucap
Luthfikri bersimbah air mata tak tahan melihat sobatnya
seperti itu.
“..Fi, sekali lagi pesan dari gue.. mohon cari adik gue,
jaga dia, sayangi dia, cintai dia, gue yakin dia juga mencintai
Loe. Aaghhh.. sampaikan permintaan maaf gue padanya. Fi,
maafin gue.. mgghhhgh..” lirih Haris sambil memberikan
dompet ke telapak tangan Luthfikri.
“Gue pasti maafi. Maafin gue juga, Ris,” kata Luthfi, Haris
pun tersenyum untuk terakhir kalinya.
“Mghh.. mhh.. aaghh.. mmghh.. Ya Allah.. Allahu Akbarr..
Astaghfirullah...” nafas terakhir Haris terhempas, Haris
meninggal.
 
Ambulan yang ditunggu sedari tadi, akhirnya datang juga
walau agak terlambat. Kemudian jasad Haris yang berlumuran
darah itu pun dibawa.
Hari itu juga jasad Haris dikebumikan, di samping makam
kedua orang tuanya.
“Dulu, loe sempet berpesan pada gue saat sakit Loe
kambuh. ‘Jika gue mati, mohon jangan tangisi kepergianku ini
kawan’ kata loe. Namun, sungguh, gue gak bisa bendung lagi
air mata ini kawan, untuk saat ini..” ucap Luthfi melepas
kepergian sahabatnya itu.
 
Sehari kemudian, Luthfikri pergi ke kosan Haris. Ia ambil
kunci yang ada di dompet Haris lalu membereskan sebagian
barang-barang milik Haris dan mencari potret adik kandung
Haris, yang nantinya harus ditemuinya.
“...”
“Hmm.. di mana yaa??”
“... Undangan, surat.. mm.. iya, adik Haris, mungkin foto
adiknya itu ada di dompetnya ini,” kata Luthfi sambil
membuka kembali dompet Haris. Luthfi temukan sebuah foto
yang tersembunyi.
 
“Inikah wajah adiknya kini?! Rasanya pernah kulihat
wajah ini, tak asing lagi bagiku. Mmm.. Subhanallah.. ini.. Ini
seperti orang yang kulihat di perpustakaan, yang sering bolakbalik
toko buku gue, yang gue sukai itu. Apakah adik Haris
adalah orang yang sama dengan seseorang yang sering
kutemui itu?? Dia itu kan namanya Dya Putri, sedang adiknya
Haris, kan Nindya. Ahh gue gak tau lagi nama lengkapnya
apa. Benarkah Dya Putri dan Nindya adalah orang yang
sama?? Hmm bingung juga ternyata!” ungkapnya.
Kemudian Luthfu membalikkan foto itu dilihatnya sebuah
tulisan ‘adik imutku Nindya Rahmania Putri’ Luthfi terdiam
seakan mulutnya terkunci, tak menyangka.
 
“Nindya Rahmania Putri.. Dya Putri.. Dya, Nindya.. Dya
Putri, Nindya Rahmania Putri.. ini benar-benar nama yang
sama..” kata Luthfi mengulang-ulang nama itu.
“Andaikan gue tau dari dulu, kalo Dya Putri adalah
Nindya, adik Loe itu. Mungkin gak susah-susah Loe nyari sanasini
tuk temukan adik kandung Loe itu, Ris,” kata Luthfi
dengan rasa sedih.
Luthfi mengambil sebuah handphone yang tergeletak di
atas laptop. Melihat-lihat daftar kontak yang ada. Jarinya
berhenti saat temukan sebuah nama ‘adik imutku’, lalu
mencari nama dengan awalan ‘D’ juga ‘N’, namun Luthfikri tak
kunjung temukan nama yang sesuai dengan apa yang ingin
dicarinya. Jarinya kembali terdiam, ia tatap sebuah kontak,
lalu berkata, “Adik imutku?? Mungkin ini nomor handphone
Nindya.” Luthfi lalu menghubunginya.
 
“Halo, Assalamu’alaikum” Luthfi mengawali pembicaraan.
“Wa’alaikum salam, kakak.. kok suaranya beda yaa, Kak.
Ini kakakku kan, Kak Haris?”
“Ini dengan Nindya??” Luthfi berbalik nanya.
“Iya, memangnya kenapa?”
“Maaf Nindya, yang nelpon ini bukan kakak kamu,”
“Lalu siapa??” ini benar kan nomor kakakku?”
“Iya, benar, kamu gak salah, ini memang nomor punya
kakakmu. Mmm, saya Luthfi, sahabatnya.
“Luthfi?? Ada apa yaa?!”
“Ada sesuatu hal penting yang ingin kubicarakan,” kata
Luthfi sambil menarik nafas dalam.
“... Kakakmu, Haris..”
“Ada apa dengan kakakku..?!”
“Mmm.. aku tak sanggup tuk mengatakannya..”
“Mohon katakan saja.. katakanlah, Kak. Pleasee..”
“Baiklah, Dya. Kakakmu kemarin lusa mengalami sebuah
kecelakaan, yang mengakibatkan ia ... ia.. tiada, Dya. Haris
telah tiada.. hiks.. hik..”
“Kakakku... Kak Haris meninggal. Ia meninggalkan aku.
Innalillahi wa... hikkk.. hikss.. dia takkan pernah kembali lagi..
hikk.. hikkk.. hiikks.. kakakk.. Kak Haris, kakak lucuku.. hik..
hikkk.. hiikk..” Nindya tak hentinya menangis mendengar
kabar kakaknya itu.
 
“... Dya.. Dya.. Haloo... Nindya..” Luthfi tak dengar lagi
ucapan dari Nindya, yang terdengar hanya tangisan seorang
adik yang kehilangan kakaknya.
“Halo Nindya, Haloo..” Luthfi mencoba bicara kembali,
namun tak ada jawab, hanya tangisan. Beberapa detik
kemudian Luthfi menutupnya.
Luthfi bingung harus bagaimana lagi, dengan segera ia
cari-cari alamat Nindya.
 
“Mana alamatnya?! Harus ada! Pasti ada..!!” Ia cari-cari
di laptop, dalam handphone, tumpukan kertas, “Halah, tak ada
juga..” Luthfi tenangkan hatinya sejenak, lalu ia cari kembali,
akhirnya in temukan alamat itu di handphone haris. “Akhirnya,
nemu juga,” ucap Luthfi dengan nafas tak teratur. “Gue harus
segera ke sana, gue takut Nindya kenapa-napa.”
Luthfi terdiam sesaat seraya berkata, “Jiaahh, Gue kan
dulu pernah ke rumahnya, napa gue susah-susah nyari alamat
itu dari tadi. Hauhh..!”
 
Tanpa banyak bicara lagi, Luthfi segera ke pangkalan
ojek. “Bang, anterin gue cepetan!!” ucapnya.
“Iya.. iya..” kata tukang ojek itu. Motor pun melaju
lumayan kencang.
 
Beberapa saat kemudian sampailah ia di depan rumah
Nindya. “Ini bang. Makasih Bang,” ucap Luthfi sambil
memberikan ongkosnya. Lalu Luthfi mencoba tuk
menghubungi nomor handphone Nindya, namun tak kunjung
diangkat.
 
Kemudian ditanyalah Luthfi oleh Satpam rumah.
“Mau bertemu siapa, Dek?!”
“Nindyanya ada, Pak??”
“Ohh.. mau bertemu Non Nindya. Ada.. ada.”
“Anda ini siapanya yaa?!” lanjut Pak Satpam.
“Saya temennya, Pak.”
“... Silakan.. silakan.. masuk.”
Luthfi masuk, lalu Pak Satpam mempersilakannya duduk
di kursi di teras depan.
“Silakan duduk, tunggu ya sebentar. Saya panggilin
dulu,” kata Pak Satpam.
“Iya, Pak.”
 
Pak Satpam masuk ke dalam rumah memberitahukan
bahwa ada tamu. Dilihatlah Nindya sedang bersama Bunda
Tiata di ruang keluarga.
“...”
“Yang sabar yah, Dya.”

Tidak ada komentar: